Minim Alat Bukti, KPK Pesimis Bisa Ungkap Skandal Buku Merah
- ANTARA FOTO/Hafidz Mubarok A
VIVA – Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo pesimis, institusinya dapat mengungkap kasus dugaan suap penggelapan tujuh kontainer daging yang diduga melibatkan sejumlah pejabat Bea Cukai dan Kepolisian RI.
Kasus itu semakin buram ketika Agus menyebut, peristiwa yang diduga perusakan barang bukti buku bank bersampul merah atas nama Serang Noor IR yang memuat indikasi aliran dana ke sejumlah pejabat, tidak tampak jelas dalam rekaman CCTV di Lantai 9 Gedung KPK.
"Adanya penyobekan tidak terlihat di kamera itu," kata Agus di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu 10 Oktober 2018.
Agus mengakui, saat itu terjadi perdebatan di antara penyidik dan pimpinan. Namun, belum sempat KPK memberikan sanksi yang semestinya kepada dua penyidik KPK, Roland dan Harun, yang diduga merusak alat bukti itu, Polri justru lebih dulu mengeluarkan surat yang isinya menarik dua penyidiknya di KPK.
"Waktu itu kalau enggak salah ada pemanggilan dari polisi supaya yang bersangkutan ditarik kembali," ujar Agus menjelaskan.
Menurut Agus, kasus ini mirip dengan kasus-kasus sebelumnya yang pernah ditangani KPK karena sulit pembuktian. Seperti misalnya kasus Nazaruddin yang dulu menyebut-nyebut nama sejumlah anggota DPR dalam kasus korupsi.
"Itu dulu juga kan ada catatan dari Yulianis juga kan, ini siapa yang menerima (uang korupsi), itu kan pembuktiannya kan susah. Begitu orangnya ngomong saya enggak menerima. Kalau tidak ada alat bukti yang lain kemudian apa yang mau kita pakai. itu kan pembuktiannya susah," terang Agus.
Apalagi, dari keterangan Basuki Hariman dan Ng Fenny tidak menyebut ada aliran uang kepada Tito Karnavian yang saat itu menjabat jadi Kapolda Metro Jaya. Karena itu, tulisan terkait dugaan aliran dana itu menurutnya perlu diklarifikasi lebih lanjut.
"Jadi dari keterangan enggak ada. Oleh karena itu, adanya tulisan itu perlu juga diklarifikasi. Kalau tidak ada alat bukti lain yang membuktikan, itu pembuktiannya, seperti zaman Nazaruddin dulu. Kan kemudian susah kalau kita enggak punya alat bukti yang lain," ucapnya.
Sebelumnya, sejumlah media nasional yang berkolaborasi dalam IndonesiaLeaks merilis hasil investigasi mengenai kasus korupsi yang diduga melibatkan para petinggi penegak hukum di negeri ini. Mereka mencium adanya indikasi kongkalikong untuk menutupi rekam jejak kasus tersebut. Â
Salah satu yang disorot adalah munculnya nama Kapolri Jenderal Tito Karnavian. Dalam dokumen investigasi yang dirilis IndonesiaLeaks, Tito diduga paling banyak mendapat duit dari Bos CV Sumber Laut Perkasa, Basuki Hariman, baik secara langsung maupun melalui orang lain.
Daftar penerimaan itu tercatat dalam buku bank bersampul merah atas nama Serang Noor IR yang memuat indikasi aliran dana yang diduga untuk para pejabat negara, Bea Cukai, pejabat Polri, termasuk Tito Karnavian, baik ketika Tito masih menjabat sebagai kapolda Metro Jaya, Kepala BNPT pada Maret-Juli 2016 maupun ketika sudah dilantik sebagai kapolri.
Â
Kemudian, muncul skenario penghilangan atau perusakan barang bukti oleh dua perwira menengah Polri yang menjadi penyidik di KPK (Ronald dan Harun). Buku catatan pengeluaran perusahaan pada 2015-2016 dengan jumlah Rp4,33 miliar dan US$206,1 ribu itu sudah tidak utuh lagi. Sekitar 19 lembar catatan terkait aliran uang suap sengaja dirusak dan dihilangkan.
Muncul dugaan bahwa motif utama perusakan dan penghilangan buku catatan keuangan CV Sumber Laut Perkasa, untuk mengaburkan atau menghapus nama besar petinggi penegak hukum yang mendapatkan transaksi ilegal dari perusahaan milik Basuki Hariman. (mus)