Gempa Bumi dan Kearifan Lokal Jadi Sistem Peringatan Dini
- ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja
VIVA – Gempa bumi dengan magnitudo 7,4 Skala Richer yang disertai gelombang tsunami yang menghantam Provinsi Sulawesi Tengah pada Jumat sore 28 September 2018, kembali mengingatkan kita semua, gempa maupun tsunami merupakan ancaman yang sangat serius bagi keselamatan jiwa.
Setiap siapa saja yang tinggal di zona rawan gempa dan tsunami, sudah sepatutnya menyiapkan diri sebaik mungkin untuk menghadapi potensi ancaman dua bencana ini. Hingga kini belum ada satu alat pun yang mampu memprediksi kapan gempa dan tsunami itu akan tiba.
Guna mengurangi risiko korban jiwa yang timbul, seluruh lapisan masyarakat hendaknya memperkaya ilmu pengetahuan tentang apa itu gempa bumi dan tsunami, mitigasi bencana serta memahami sistem peringatan dini, hingga kearifan lokal. Padahal dulu, masyarakat kita yang dikatakan minim akan alat maupun informasi tentang ini, tapi memiliki cara sendiri dalam menghadapi segala kemungkinan yang terjadi.
Peneliti sejarah kegempaan Sumatera Barat, Yose Hendra menyebutkan, masyarakat tradisional Minangkabau, sejak lama telah mengguratkan petuah yang pada dasarnya merupakan nasihat yang berbasiskan dengan alam terkembang menjadi guru. Mereka, mempedomani tanda-tanda alam dalam melihat suatu hal yang mungkin terjadi. Tak terkecuali gempa itu sendiri.
"Nyampang kok malang nan taraiah, badantuang guruah di hulu, babunyi gagah di lautan, alam batapuak, bumi lago. (Jika seandainya malang yang diraih, berbunyi petir di hulu, gagah di lautan, alam berisik, bumi beradu). Hal ini dimaknai bahwa tanda-tanda alam akan terlihat jika gempa besar akan datang," katanya, Jumat 5 Oktober 2018.
Selain itu, ada petuah selanjutnya berbunyi kiamaik dunia nan piatu, yang berarti kiamat-kiamat kecil yang diceritakan dalam Alquran yang sifatnya menghancurkan. Petuah ini berkembang dalam masyarakat adat Minangkabau secara turun temurun melalui lisan. Akan tetapi, makna dari petuah itu baru disadari sebagian kalangan di Minangkabau, ketika program mitigasi bencana khususnya gempa dan tsunami mulai ramai setelah kejadian gempa 2009 silam.
Badantuang guruah di hulu dimaknai petir yang berbunyi keras dan bergemuruh di hulu sebagai signal gempa besar. Gemuruh dianggap seperti orang mengguling-gulingkan batu di atas langit. Sementara babunyi gagah di lautan adalah gelombang keras yang datangnya dari laut. Jika dibawa ke zaman modern hal tersebut berarti tsunami.
Alam batapuak, bumi balago, berarti gempa yang berasal dari letusan gunung dan juga gempa di daratan. Berdasarkan petuah yang ada, sebetulnya istilah tsunami sekarang adalah peristiwa yang sering terjadi pada masa lalu.
"Peristiwa-persitiwa gempa yang pernah melanda di Minangkabau sejak dahulu kala terekam dalam budaya lisan. Hal itu dibungkus dalam bahasa kias yang disebar dalam bahasa tutur atau petuah. Cara-cara melafaskannya juga samar-samar tapi jika ditelisik bermakna bahwa yang namanya bencana (gempa) terlebih dahulu muncul tanda-tanda sebelum datang," kata Yose Hendra.
Yose menjelaskan, untuk menghindari risiko, manusia harus mampu menafsir tanda-tanda tersebut. Bahkan gempa tahun 1926 silam, seringkali dihubungkan dengan mengingat peristiwa tertentu yang kemudian dicurahkan secara lisan turun temurun. Misalnya untuk mengingat tanggal kelahiran anak, dengan menyebutkan, sepekan setelah gampo Padangpanjang (gempa Padangpanjang).
Ada lagi petuah yang berkembang di tengah masyarakat adat Minangkabau seperti, Pancarengek jo batang kiapeh, sarumpun jo batang dadok. Tampuo basarang pado baniah, duri nan tumbuah tiok tangkai. Ingek-ingek nan diateh, nan dibawah kok maimpok. Galodo kok datang dari ilia, tiri kok datang dari lantai (mamusek dari bumi ka ateh).
Petuah itu menurut Yose, merupakan resolusi penanggulangan bencana yang berbasis kearifan lokal. Peringatan-peringatan tersebut dimaknai sebagai tanda-tanda untuk segera mengingat Tuhan yang mungkin telah sering dilupakan. Secara fisik waspada kepada lingkungan sekitar, tapi secara batin dan roh, waspada berdasarkan kepercayaan agama.
Kata-kata ingek-ingek nan diateh, nan dibawah kok maimpok. Galodo kok datang dari ilia, tiri kok datang dari lantai (mamusek dari bumi ka ateh), punya arti kemana pun pergi harus mempersiapkan diri. Adat bersandi Syarak, Syarak Bersandi Kitabullah (ABS-SBK) yang menjadi falsafah Minangkabau sesungguhnya menguatkan hal ini.
Untuk selamat dunia akhirat, falsafah ABS-SBK harus dijalankan semuanya. Setiap langkah harus dengan agama. Akan tetapi untuk memahami yang ada dalam agama semuanya, tergantung kemampuan kita menyerap dan membaca agama tersebut.
"Di samping tersirat dalam lisan, kearifan tanggap terhadap ancaman gempa di Sumatera Barat ditemui dalam wujud fisik seperti rumah gadang, uma dan sejenis rumah kayu lainnya. Rumah gadang dengan mudah ditemui di hampir seluruh pelosok nagari di Sumatera Barat daratan (kawasan Minangkabau). Sementara uma adalah rumah adat khas masyarakat kepulauan Mentawai. Konstruksi bangunan kedua rumah adat yang terdapat di Sumatera Barat ini hampir sama, yang membedakan paling dasar adalah bentuk, fungsi dan coraknya," ujar Yose.
Konsep Rumah Gadang
Yose menjelaskan, rumah gadang dan uma adalah perwujudan kemampuan masyarakat beradaptasi dengan lingkungan. Cara-cara memahami lingkungan diimplementasikan dengan cara menjaga kelestarian lingkungan dan mengetahui karakteristik lingkungannya. Nenek moyang yang mendesainnya dan mengembangkannya sangat merespons kondisi wilayah yang sering dilanda gempa.
Karena itu, rumah adat tersebut tidak memakai struktur yang kaku seperti baja dan beton, melainkan hanya pasak sebagai penyambung kayu atau bambu. Makanya, ketika terjadi guncangan, kerusakan rumah sangat minim karena konstruksinya jadi elastis mengikuti irama goyangan gempa.
"Rumah gadang tidak mengikuti alur tapi mengikuti irama. Kalau bangunan rumah gadang terlihat condong, sebenarnya sebagai bentuk penyesuaian diri dengan berat, gratifikasi, dan goncangan bumi sendiri. Terkait dengan konsep aman gempa, dilihat struktur yang berupa segi empat yang lebar ke atas atau trapesium terbalik itu, jika saja ditarik garis dari sisi-sisi trapesium terbalik itu ke bawah, ia akan bertemu pada satu titik di pusat bumi," katanya.
Kata Yose, bila digambarkan lagi akan menyerupai segi tiga sama kaki yang terbalik. Pada akhirnya penampang rumah gadang ini, antara penampang badan dan atap, akan menyerupai dua segitiga yang dipertemukan salah satu sisinya. Hal ini dicurigai berhubungan ketahanan terhadap goncangan yang dimunculkan gempa.
Menurut Yose, pemakaian struktur tidak kaku ditambah material terbuat dari kayu dan pasak berupa ikat sebagai sambungan, menjadikan struktur rumah gadang sebagai satu kesatuan. Jika yang satu goyang, maka yang lain akan menahan. Karakter material kayu dan bambu juga mendukung. Pilihan atas bahan-bahan seperti ini dicurigai sebagai wujud interaksi tradisi yang sudah begitu lama.
Maka dari itu, kampanye green building (membangun berspektif alam) yang sedang gencar-gencarnya dipromosikan oleh lembaga atau personal tertentu, sebetulnya sudah dilakukan di Sumatera Barat. Menyadari keampuhan rumah berbahan kayu dan bambu terhadap gempa, maka pasca gempa di Gunungrajo, Tanahdatar, banyak LSM yang menawarkan rumah sasak bugih dan kayu.
"Indikator kuatnya rumah gadang dan sejenisnya terhadap gempa, terlihat pada gempa Padangpanjang tahun 1926. Dari 393 rumah yang runtuh, hampir semuanya terbuat dari batu bata. Bahkan baru dua hari pemakaian, sekolah Diniyyah Puteri yang dibangun secara modern pun tak luput dari kehancuran. Sementara gempa tahun 2007 dan 2009, tidak ada rumah gadang yang roboh. Disisi lain, rumah kayu relatif tidak ada yang rusak," terang Yose.
Pengalaman tanpa pembelajaran juga menjelaskan, jika beberapa tahun sebelum gempa 30 September 2009, Sumatera Barat telah beberapa kali didera gempa. Sejak tahun 2005 hingga gempa 2009, BMKG mencatat Sumatera Barat telah 14 kali diguncang gempa kategori besar. Disapa gempa beberapa kali, idealnya memperkaya pengetahuan warga untuk menyelamatkan diri, memutuskan tindakan-tindakan evakuasi.
Secara umum, ketika gempa 2009 menggoyang, warga menggunakan pola-pola penyelamatan secara konvensional, yaitu menyelamatkan diri dengan berlari secepat mungkin ke tempat yang aman dan bebas dalam menghindari risiko gempa. Setelah itu berdiam diri di luar rumah atau di luar bangunan yang didiami sebelumnya, sampai getaran gempa dipastikan tak ada lagi. Namun melihat korban yang berjatuhan, ada yang miskin pengetahuan tentang tindakan ketika berada di bangunan bertingkat atau pola pengulangan gempa.
Hal ini menurut Yose, menunjukkan jika warga tidak mempertimbangkan evakuasi vertikal sebagai pilihan dalam penyelamatan diri. Evakuasi berlangsung hanya sebagai gerakan horisontal menjauh dari bibir pantai dan mengarah ke daratan.
Menurut Yose, ada kekurangan pemahaman mengenai sistem peringatan dini, namun orang-orang mempercayai pemerintah untuk menyediakan informasi yang akurat secara langsung setelah gempa bumi. Sebagian besar orang hanya memiliki gambaran kabur mengenai cara kerja sistem peringatan dini tsunami secara menyeluruh. Dari sudut pandang mereka, hal terpenting adalah mendapatkan informasi akurat dan resmi secepat-cepatnya.
"Masyarakat percaya kepada pemerintah daerah, khususnya walikota. Mereka percaya bahwa pemerintah akan menyediakan informasi yang akurat secara langsung setelah gempa bumi," kata Yose.