MK Pastikan Oesman Sapta Odang Tak Bisa Jadi Calon Senator DPD

Mahkamah Konstitusi mengelar keterangan pers.
Sumber :
  • Eka Permadi

VIVA – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) memastikan Oesman Sapta Odang (Oso) yang saat ini menjadi Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sekaligus Ketua Umum Partai Hanura tidak bisa menjadi calon senator di Pemilu 2019. Maka polemik apakah KPU bisa mencoret atau tidak calon senator DPD yang merangkap pengurus partai politik telah usai.

Relasi Kuasa, Sex, dan Abuse of Power di KPU

MK memenangkan sikap KPU, yang mencoret Oso dari daftar calon senator DPD, meskipun kuasa hukumnya Dodi S Abdulkadir melaporkan KPU ke Bawaslu. Dengan alasan putusan MK Nomor 30/XVII/2018 tentang larangan pengurus partai politik mendaftar sebagai calon anggota DPD baru berlaku pada pemilu tahun 2024, karena tidak berlaku surut.

"Putusan MK derajatnya setara dengan undang-undang karena itulah MK disebut negatif legislator. Oleh karena itu di dalam undang-undang MK Pasal 47 ditegaskan bahwa putusan MK memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam pleno MK yang terbuka untuk umum," ujar Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palagu yang ditunjuk sebagai juru bicara Mahkamah Konstitusi (MK) dalam perkara ini di gedung MK, Jakarta, Kamis 20 September 2018.

Calon Anggota KPU-Bawaslu Wajib Tes PCR 2 Kali Sebelum Uji Kelayakan

Palaguna menambahkan harus dibedakan antara tindak lanjut dan putusan. Dimana kuasa hukum Oso berpendapat putusan MK belum ada tindaklanjutnya dalam bentuk undang-undang, sehingga KPU tak bisa mencoret Oso dari daftar calon senator DPD RI.

"Harus dibedakan tindaklanjut dengan mulai berlakunya, mulai berlakunya itu mengacu Pasal 47 dan itu terkait Pasal 58 undang-undang MK yang menegaskan bahwa undang-undang yang sedang diuji MK akan tetap dianggap konstitusional sampai ada putusan MK yang berkekuatan hukum tetap, yang menyatakan itu bertentangan dengan undang-undang," jelasnya.

DPR Gelar Uji Kelayakan Calon Anggota KPU-Bawaslu pada 14-17 Februari

Sedangkan revisi undang-undang hanya sebagai tindak lanjut putusan MK. Sehingga alasan Oso dengan belum direvisinya undang undang nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, dan undang undang nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, maka putusan MK yang menjadi muatan materi UU harus diproses melalui DPR dan Pemerintah menjadi tidak tepat.

"Kalau enggak begitu buat apa ada perintah dimuat dalam berita negara. Itu kan unsur publisitas sama seperti halnya undang-undang, hanya saja  undang-undang di lembaga negara tapi ini (Putsan MK) diberita negara," jelasnya.

Palaguna menegaskan Mahkamah tidak pernah menyatakan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU-XVI/2018 bertanggal 23 Juli 2018 akan diberlakukan mulai Pemilihan Umum Tahun 2024, karena sebagaimana telah ditegaskan di dalam pertimbangan hukum tersebut bahwa sesuai dengan Pasal 47 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011, Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam Sidang Pleno.

"Mahkamah menegaskan bahwa terkait dengan Putusan a quo, sejak Putusan Nomor 10/PUU-VI/2008 Mahkamah tidak pernah mengubah pendiriannya berkenaan dengan persyaratan calon anggota DPD yang tidak boleh berasal dari Partai Politik," katanya. (ren)

Gambar ilustrasi pemilu

Keputusan Kontroversial MA: Batas Usia Calon Kepala Daerah di Pilkada 2024

Keputusan MA yang melarang penggunaan calon kepala daerah pada pemilu 2024 di Indonesia telah memicu kontroversi di ranah publik dan politik.

img_title
VIVA.co.id
11 Juni 2024