Survei Polmark Sebut Politik Uang di Jawa Sudah Tak Laku
- VIVA/Ridho Permana
VIVA – Lembaga survei Polmark Indonesia merilis hasil riset terbarunya. Bukan tentang elektabilitas atau popularitas calon presiden melainkan menilai sejauhmana keefektifan penggunaan politik uang dalam Pemilu 2019.
Salah satu temuan Polmark ialah bahwa politik uang alias money politic cenderung tidak efektif atau tak laku lagi untuk diterapkan dalam Pemilu 2019. Sebab, kemandirian pemilih sudah jauh lebih besar dibandingkan rupiah yang diberikan.
Berdasarkan riset itu, masyarakat di Jawa lah yang paling tinggi nilainya untuk menggunakan pilihan politiknya tanpa pertimbangan uang. Mereka memiliki pertimbangan yang mandiri untuk menentukan pilihan calon presiden dan wakil presiden maupun calon anggota legislatif.
Menurut Chief Executive Officer (CEO) Polmark Indonesia, Eep Saefulloh Fatah, di Jawa saja, contohnya, politik uang cenderung tidak efektif di angka yang cukup besar. Paling tinggi di DKI Jakarta pada 2017.
Angka politik uang tidak efektif di Jakarta berkisar 86,2 persen, Banten (2016) mencapai 74,5 persen, Jawa Barat (2017) 71,8 persen, Jawa Tengah (2018) 72,8 persen, dan Jawa Timur (2018) 67,8 persen.
Temuan itu berdasarkan survei dengan lokasi 57 survei provinsi, 3 survei nasional, 24 survei kota, dan 58 survei kabupaten.
"Di atas sebagai contoh di Pulau Jawa bagaimana tingginya ketidakefektifan politik uang," kata Eep dalam konferensi pers tentang pemaparan hasil surveinya di Jakarta, Selasa, 18 September 2018.
Eep mengaku tak memungkiri, politik uang memang masih marak, tapi terbukti tidak efektif. Hal yang menjadi sorotan juga kemandirian pemilih berkutat di lingkungan kecil seperti keluarga, RT dan RW.
"Hal yang paling mencolok tak efektifnya politik uang di Jakarta 2017. Studi kasus Jakarta pada pemilihan gubernur menunjukkan bahwa uang bisa tertimbun oleh aspek lain yang lebih penting," katanya.