Putusan MA Bekas Koruptor Boleh Nyaleg Ciderai Demokrasi
VIVA – Pengamat Politik LIPI, Siti Zuhro menyesalkan adanya putusan Mahkamah Agung (MA) yang menganulir Peraturan KPU nomor 20 tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, terkait dengan ketentuan mantan terpidana kasus korupsi tidak dapat mencalonkan diri sebagai calon anggota legislatif pada Pemilu 2019 mendatang.
Menurut Siti, keputusan MA itu telah membuat kecewa masyarakat yang menginginkan ajang pesta demokrasi atau pemilu 2019 sebagai momentum untuk mendapatkan wakil rakyat yang bersih dari tindak kejahatan korupsi.
"Ini mencederai demokrasi. Bahwa keputusan MA ini seolah-olah menjadi payung hukum yang tidak berempati terhadap nasib Indonesia yang sudah menghadapi bencana korupsi," kata Siti di kantor KPU RI, Jakarta Pusat, Senin, 17 September 2018.
Ia menambahkan, Peraturan KPU RI yang melarang mantan terpidana kasus korupsi mencalonkan diri sebagai caleg pada pemilu 2019 sejatinya merupakan salah satu upaya untuk memotong mata rantai korupsi di pemerintahan. Sehingga, lanjut Siti, seharusnya MA memiliki kesadaran yang sama dengan penyelenggara pemilu dengan cara tidak mengabulkan gugatan sejumlah caleg yang merasa keberatan dengan PKPU RI nomor 20 tahun 2018 itu.
"Bencana korupsi ini kan harus diputus mata rantainya. Mata rantainya yaa dari caleg-caleg itu, begitu juga dengan pencalonan pilkada, dan tentu pencalonan di pilpres nanti juga harus demikian. Itu adalah salah satu tes integritasnya, sehingga masyarakat tahu calon pemimpin ini layak, patut atau tidak menjadi panutan," ujarnya.
Siti mendesak agar ketentuan larangan mencalonkan diri sebagai anggota legislatif bagi mantan terpidana korupsi, pelaku kejahatan seksual pada anak, dan bandar narkoba masuk ke dalam undang-undang pemilu. Dengan demikian ketentuan tersebut akan memiliki kekuatan hukum yang tidak dapat diperdebatkan kembali.
"Jadi peraturan itu harus harus jelas, tegas, eksplisit, lugas," kata Siti.