Anggota DPRD Korupsi Massal, Parpol Dinilai Krisis Etik
- VIVA.co.id/Lucky Aditya
VIVA – Kasus korupsi massal yang menyeret puluhan anggota DPRD Kota Malang terus disorot publik. Sebanyak 41 anggota DPRD “dibabat” KPK terkait kasus suap APBD-Perubahan Kota Malang tahun anggaran 2015.
Peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsudin Haris menilai elite politik gagal bekerja profesional yang bertanggungjawab kepada rakyat.
"Politik sudah menjadi sangat sempit, sekadar kekuasaan itu sendiri. Padahal itu kan kebajikan untuk menyejahterakan masyarakat," kata Syamsudin Haris dalam diskusi bertajuk 'Mengapa DPRD Korupsi Beramai-ramai?' di Cikini Jakarta, Sabtu 15 September 2018.
Dia mengingatkan partai punya peran untuk memberikan pendidikan politik kepada masyarakat. Menurutnya, dalam dinamika saat ini, peran ini tidak berjalan akibat pendangkalan pemahaman. Hal ini dinilai menimbulkan krisis etik di internal parpol.
"Banyak sekali pendangkalan politik termasuk soal pemahaman parpol itu sendiri," lanjutnya.
Kemudian, ia pun menyoroti usulan agar parpol mesti disubisidi negara pun menjadi bias. "Sebab tidak ada kejelasan mengenai definisi parpol itu sendiri. Coba kalau kita cek Undang-Undang Parpol, parpol itu seperti NGO," ujarnya.
Baca: 41 Anggota Dibabat KPK, DPRD Kota Malang Perlu PAW Massal
Dia menegaskan fungsi parpol harus sebagai badan hukum publik harus punya peranan yang lebih bertanggungjawab. Parpol, kata dia, jangan seenaknya menentukan diri dan aturannya sendiri.
Sebab, masalah kaderisasi dan hal-hal etik lainnya terkait pendidikan politik di parpol, harus bisa dievaluasi publik secara transparan.
"Nah, jadi peningkatan subsidi negara dimaksudkan bukan semata-mata untuk menutupi kebutuhan biaya politik, tapi sebagai upaya mengambil alih parpol dari kepentingan politik para individu dominan di partai, entah itu SBY, Prabowo atau bahkan Bu Mega juga. Karena mereka itu kan sangat absolut di partai masing-masing," ujarnya. (ren)