Maarif Institute Anggap Hakim Pengadil Meiliana Kurang Paham HAM

Ilustrasi sidang di pengadilan.
Sumber :
  • VIVAnews/Anhar Rizki Affandi

VIVA – Maarif Institute menyesalkan vonis majelis hakim Pengadilan Negeri Medan kepada Meiliana atas perkara memprotes volume suara azan yang berkumandang di lingkungannya.

Masyarakat Diminta Tak Ributkan Azan jadi Running Text saat Misa Akbar Paus Fransiskus Besok

Lembaga itu menganggap vonis hakim mengusik rasa keadilan karena proses hukum yang abai untuk memberikan rasa keadilan pada warganya.

Menurut Direktur Eksekutif Maarif Institute, Muhd Abdullah Darraz, vonis itu menguatkan dugaan kurangnya pemahaman hakim dan jaksa atas isu-isu hak asasi manusia (HAM). Terlebih penggunaan rujukan UU PNPS 1965 tentang penodaan agama yang sarat peluang pelanggaran HAM. 

Terkait Azan Magrib pada 5 September 2024, Ini Penjelasan Kemenag

Darraz juga menyoroti lemahnya kapasitas dan perspektif penegak hukum dalam menyikapi kasus-kasus sensitif keagamaan. 

“Ini adalah peran strategis Komisi Yudisial untuk memperkuat pemahaman hakim pada isu-isu HAM dan minoritas. Jangan sampai vonis hakim justru semakin memperuncing konflik di tengah masyarakat,” kata Darraz di Jakarta pada Kamis, 23 Agustus 2018. 

MUI Sebut Tak Ada Pelanggaran Azan TV Diganti Running Text saat Misa Akbar

Namun lebih dari itu, Ma’arif Institute mengimbau masyarakat untuk tetap menghormati proses hukum yang berlaku. Mekanisme hukum tidak dibenarkan untuk diintervensi oleh mekanisme politik atau bentuk lain di luar hukum.

Karenanya, Ma’arif Institute mengajak masyarakat untuk memberikan dukungan moril kepada Meiliana dan tim pembela untuk dapat memperjuangkan keadilan melalui mekanisme banding dan kasasi. "Dukungan publik sangat penting bagi pencarian keadilan Meiliana,” ujarnya. 

Dilema

Kasus yang menimpa Meiliana, katanya, adalah sebuah dilema relasi masyarakat antaragama di Indonesia. Salah satunya adalah tidak ada aturan baku mengenai penggunaan pelantang suara untuk rumah ibadah. 

Ma’arif Institute sebagai organisasi sipil masyarakat menyerukan tentang pentingnya pengaturan pelantang tempat ibadah.

“Kasus Meiliana merupakan pintu masuk negara untuk mengatur secara resmi penggunaan pelantang suara di rumah ibadah. Aturan ini tak hanya mengatur salah satu rumah ibadah, namun harus berlaku bagi semua tempat ibadah. Aturan ini mesti berpegang pada aspek kepentingan publik yang lebih luas,” kata Darraz. 

Di luar proses hukum yang mengecewakan itu, ia prihatin karena kasus itu mengindikasikan makin menipisnya rasa toleransi beragama dan tenggang rasa sesama warga negara. 

Kemudian, menjalankan agama dan peribadatan haruslah disertai dengan menenggang rasa, meraba realitas sosial yang berbeda, dan menjaga kehidupan sosial masyarakat yang beragam tetap harmoni. 

Meiliana divonis hukuman pidana penjara selama 18 bulan oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Medan, Sumatera Utara, pada 21 Agustus 2018. 

Hakim Prasetyo Wibowo yang memimpin peradilan menyebutkan bahwa Meiliana terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 156 huruf a KUHP atas perbuatannya memprotes volume suara azan yang berkumandang di lingkungannya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya