Kisah Inspiratif Tiga Mahasiswa Baru IPB Masih Berusia 15 Tahun
- VIVA/Muhammad Romadoni
VIVA – Institut Pertanian Bogor atau IPB pada tahun 2018 menerima 3.817 mahasiswa baru dari semua jalur. Terselip tiga di antaranya mahasiswa yang masih belia, bahkan termuda 15 tahun.
Mereka antara lain Setiawan Nur Fajri, mahasiswa Departemen Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam; Aji Pangestu, Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia; dan Roro Iyaka Nuraliyu, Fakultas Kedokteran Hewan. Ketiganya masuk IPB saat usianya mulai menginjak 15 tahun.
Setiawan Nur Fajri diterima melalui jalur seleksi tulis atau Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN). Sejak usia empat tahun Setiawan sering diajak ibunya ke sekolah dasar (SD) tempat sang ibu mengajar.
“Saat itu saya selalu memperhatikan ibu saya mengajar, sehingga saya sudah bisa membaca dan menghitung perkalian di usia empat tahun. Dan saat usia saya lima tahun, saya sudah masuk ke SD,” ujar Setiawan kepada VIVA di sela kegiatan masa pengenalan kampus pada Sabtu, 11 Agustus 2018.
Saat hendak ke jenjang SMP, Setiawan mendapat tawaran untuk mengikuti program akselerasi di SMPN 1 Baleendah, Bandung. “Awalnya saya tidak setuju, tetapi orangtua saya mendorong dan akhirnya saya ikuti tesnya. Saya lolos kelas akselerasi, tetapi terkendala biaya. Alhamdulillah pihak sekolah memberi keringanan untuk saya, yaitu saya bisa membayar SPP saat dananya sudah ada,” katanya.
Karena kondisi ekonomi keluarganya saat itu, pada tahun kedua sekolah SMP, Setiawan mendapat tawaran untuk mendaftar Beasiswa Afirmasi Pendidikan Menengah, yang termasuk program dari Pemerintah Jawa Barat. Dia lulus dan bersekolah di SMA Al Ma’soem Boarding School, Sumedang, selama dua tahun.
Setiawan ingin berprestasi di bidang akademik maupun non-akademik. Ia pun berkeinginan bisa kuliah sampai S-3. Setiawan mengaku sangat senang dan bersyukur bisa membuat bangga kedua orangtua. “Saya ingin membangun daerah saya, saya ingin membuat bangga orangtua dan negara,” ujarnya.
Anak pedagang gorengan
Kisah itu mirip dengan yang dialami Aji Pangestu. Mahasiswa belia dari Bogor ini juga mendapatkan Beasiswa Afirmasi Pendidikan Menengah, program dari Pemerintah Jawa Barat. Aji lolos sebagai siswa cerdas istimewa bakat istimewa.
Aji dikenal sebagai anak yang pintar dan sering mendapat juara kelas. Ia juga pernah meraih Juara 1 Olimpiade Sains Nasional (OSN) Tingkat Kecamatan Bidang Matematika. Ketika SMA ia mendaftar beasiswa dari Pemerintah Jawa Barat.
“Saya belajar dengan giat saat itu. Saya luangkan waktu belajar minimal satu jam dalam sehari. Saya melanjutkan sekolah ke SMA SMART Ekselensia Indonesia dan menempuhnya selama dua tahun,” ujarnya.
Aji juga mengawali sekolah di SD saat usianya masih empat tahun, karena di daerahnya belum ada taman kanak-kanak (TK). Tidak heran saat masuk IPB usia Aji baru 15 tahun. Menurutnya, tidak sedikit orang yang berkomentar tentang usianya yang masih muda ini. Tapi orangtuanya selalu memberikan nasihat-nasihat baik dan mendukung setiap langkahnya.
“Keluarga saya adalah keluarga yang kurang secara ekonomi. Setiap malam saya bantu orangtua saya berdagang. Ayah saya adalah pedagang gorengan di depan toko Alfamart,” ujarnya.
“Ibu yang seorang ibu rumah tangga. Tiap pagi membuat bahan-bahan dagangan untuk siangnya dibawa oleh Ayah. Oleh karena itu, saya berpikir saya tidak boleh mengecewakan kedua orangtua saya yang berjuang demi saya,” katanya.
Aji menjadi mahasiswa IPB melalui jalur undangan prestasi akademik (nilai rapor) atau Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Untuk mempersiapkan SNMPTN, Aji mengaku hanya melakukan dua hal, yakni belajar dan berdo’a.
Dia sempat mengalami kesulitan saat diminta persyaratan Kartu Tanda Penduduk (KTP) karena usianya yang masih muda. “Saya belum punya KTP dan ketika ada syarat-syarat yang pakai KTP, saya bertanya boleh tidak pakai dokumen lain saja,” katanya.
Dokter hewan satwa liar
Roro Iyaka Nuraliyu, anak kedua dari dua bersaudara, saat SMP dan SMA mengikuti program akselerasi sehingga hanya melalui masa itu selama empat tahun.
“Sejak SMP saya sudah ingin sekali masuk ke Fakultas Kedokteran Hewan IPB, karena setahu saya fakultas ini adalah fakultas kedokteran hewan terbaik di Indonesia. Saya mau jadi dokter hewan satwa liar,” katanya.
Awalnya Roro sulit untuk beradaptasi saat menjadi siswa akselerasi. Roro harus belajar dengan mata pelajaran yang lebih padat dalam sehari. Belum lagi harus mengikuti les tambahan di malam hari. Kalau ada tugas kelompok, Roro harus pulang telat di hari itu. Itu membuatnya sulit membagi waktu dan harus mengatur strategi belajar. Roro juga kesulitan untuk mengembangkan potensi non-akademik. Namun, berkat kegigihannya, Roro berhasil menjadi peringkat lima besar dalam kelasnya.
Selain itu, Roro juga aktif dalam klub bahasa Inggris di sekolahnya. Roro berhasil menjuarai berbagai perlombaan seperti Juara I Lomba Debat Bahasa Inggris Se-Jabodetabek Tahun 2017 dan Juara III Lomba Debat Bahasa Inggris di Al-Azhar BSD Tahun 2017.
Sekarang Roro berhasil mewujudkan cita-citanya dengan masuk ke Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Mahasiswa muda ini mengaku sangat senang dan bersyukur bisa kuliah di salah satu universitas terbaik dalam usia yang terbilang muda.
"Kalau soal akademik masih agak kesukitan masih belum bisa memanaj waktu butuh banyak waktu jadi harus terus berusaha. Terus berusaha menyesuaikan pelajaran," ujarnya.