Saat Korban Perkosaan Aborsi: Mengapa Dipenjara dan Bukan Dikuatkan?
- bbc
"Saya mau segera pulang, saya ingin melanjutkan sekolah agar nanti bisa kuliah."
Mata gadis remaja, yang kita sebut saja Bintang, berbinar saat mengucapkan kalimat itu kepada saya dan dua orang teman dari LBH APIK (Asosiasi Perempuan untuk Keadilan) mengunjunginya di sebuah Panti Sosial Bina Remaja beberapa hari lalu.
Hari itu Bintang berulang tahun ke-17. Sesekali ia tersenyum kecil, manis sekali. Kami merayakan ulang tahunnya dengan makan bakso dan donat.
Saat sedang tertawa dan bergurau dengan teman-teman sebayanya, tidak akan ada yang menyangka bahwa satu tahun lalu Bintang harus melalui serangkaian peristiwa berat yang mengubah dan menjungkir-balikkan hidupnya.
Baru saja putus sekolah karena ketiadaan biaya, ia diperkosa oleh tetangga kampungnya. Bintang tiada pernah menceritakan kejadian yang menimpanya kepada siapapun.
"Saya takut," katanya saat ditanya mengapa ia tidak segera melaporkan kejadian itu.
Tak lama, ia memutuskan pindah ke Jakarta, bekerja sebagai pekerja rumah tangga.
"Satu bulan bekerja sebenarnya sudah tidak betah, saya kangen pelukan ibu," katanya.
Tetapi demi membantu perekonomian keluarga, ia bertahan, begitu ceritanya kepada saya.
Saya tak berani mengorek lagi apa yang sesungguhnya terjadi pada saat ia menggugurkan kandungannya.
Namun menurut Siti Mazuma, pengacaranya dari LBH APIK, pada satu hari Bintang sakit perut begitu hebat dan sebuah gumpalan keluar dari rahimnya. Lalu Bintang membuangnya ke tempat sampah.
Seterusnya ia bekerja seperti biasa sampai dua hari kemudian petugas kebersihan menemukan bungkusan yang ternyata berisi janin.
Beberapa hari kemudian Bintang ditangkap oleh polisi, saat usianya masih 15 tahun. Ia ditetapkan sebagai tersangka pelaku aborsi dan masuk tahanan dewasa.
Satu tahun lalu, Bintang dinyatakan bersalah di pengadilan. Berkat kegigihan tim pengacara LBH APIK, Bintang tidak dihukum penjara.
Sebagai gantinya ia harus masuk rehabilitasi di Panti Sosial Bina Remaja dan berhak mendapatkan konseling atas trauma akibat perkosaan yang pernah ia alami.
Hakim yang mengadilinya mengakui bahwa Bintang adalah ``korban perkosaan dan korban kemiskinan,`` seperti dikutip , 28 Juli 2017.
Bintang bukan yang pertama dan bukan pula yang terakhir.
Pada Kamis 19 Juli 2018, kembali publik dibuat terkejut dan marah atas apa yang menimpa Matahari, juga nama samaran, seorang anak perempuan berusia 15 tahun asal Jambi.
Hakim Pengadilan Negeri Muara Bulian menjatuhkan hukuman enam bulan penjara kepada Matahari, karena menggugurkan kandungan hasil perkosaan oleh kakak kandungnya sendiri.
Berbagai kalangan terguncang lantaran korban perkosaan inses yang semestinya mendapatkan perlindungan, dukungan konseling, dan solidaritas, malah diburu dengan pasal pidana.
Berdasarkan rilis Institute for Criminal Justice Reform 23 Juli 2018, ada pelanggaran hukum acara yang serius dalam penanganan kasus di PN Muara Bulian. Mereka meminta Mahkamah Agung, Komisi Kejaksaan dan Komisi Yudisial untuk melakukan pemeriksaan terhadap peradilan itu.
Kasus yang dihadapi oleh Bintang dan Matahari adalah hanya dua dari ratusan kasus kekerasan seksual yang dialami para bocah.
Pada 2017 saja, Komisi Perlindungan Anak Indonesia mencatat 116 kasus kekerasan seksual. Secara umum Komnas Perempuan mencatat kasus kekerasan seksual khususnya perkosaan terhadap perempuan dan anak perempuan yang terjadi di ranah privat dan komunitas berjumlah 1.288.
Dengan ribuan kasus perkosaan yang menimpa perempuan dan anak, apakah adil jika hakim memberikan hukuman penjara kepada mereka yang memutuskan menggugurkan kehamilan akibat perkosaan?
UU No 36 tahun 2009 tentang Kesehatan dan PP No 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi telah mengatur dan memberikan pengecualian terhadap korban perkosaan.
Namun mengapa para hakim ini mengirim korban ke penjara?
Hak aborsi dan prasangka moral
Putusan-putusan hakim yang menyatakan bersalah dan menghukum korban perkosaan yang menggugurkan kandungan, menunjukkan betapa prasangka moral sepihak begitu dominan, sampai bersifat represif terhadap perempuan korban perkosaan.
Dan yang menyedihkan dan tak bisa diterima adalah, urusan ini jadi alat politik para politisi di DPR dan partai-partai politik mereka.
Pada 2009 lalu, terjadi perdebatan sengit antara aktivis perempuan dan para politikus saat pembahasan RUU Kesehatan. Aktivis perempuan meminta agar akses untuk layanan aborsi aman diakomodasi sepenuhnya, sementara para politikus dan partai politik menolaknya mentah-mentah.
Jika para aktivis menyodorkan fakta mengenai tingginya angka kematian ibu atas aborsi yang tidak aman dan argumen perlindungan terhadap hak perempuan maka para politikus dan pembuat undang-undang bersikukuh dengan argumentasi moral dan agama.
Hasil akhir pasal aborsi di UU Kesehatan amat jauh dari standar UU dunia modern sekarang ini, dan jauh dari apa yang diharapkan para aktivis perempuan. Betapa pun, aborsi diberi kemungkinan untuk dilakukan, namun syaratnya ketat dan hanya dapat diberikan kepada perempuan korban perkosaan dan perempuan yang mengalami indikasi kedaruratan medis.
Masalahnya, syarat untuk mengakses layanan aborsi ini pun sangat rumit dan berat. Nyaris mustahil untuk diakses.
Para legislator berkilah bahwa pasal yang memungkinkan aborsi itu, betapa pun peliknya, sudah maksimum.
"Yang tertera dalam RUU itu adalah kompromi yang paling mungkin," kata Mariani Baramuli dari Partai Golkar yang dikutip oleh Kompas 15 September 2009.
Problemnya, ketentuan dalam UU yang memberi sedikit ruang bagi korban perkosaan untuk mengakses layanan aborsi, tidak banyak diketahui.
Berdasarkan pasal 75 ayat (1) UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, pada dasarnya, setiap orang dilarang melakukan aborsi .
Pengecualian terhadap larangan melakukan aborsi diberikan dalam dua kondisi berikut:
a) indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau
b) kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan.
(lihat Pasal 75 ayat 2 UU Kesehatan)
Namun, tindakan aborsi yang diatur dalam Pasal 75 ayat 2 UU Kesehatan itu juga hanya dapat dilakukan setelah melalui konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang (lihat Pasal 75 ayat [3] UU Kesehatan).
Selain itu, menurut pasal 76 UU Kesehatan, aborsi hanya dapat dilakukan:
a) sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis;
b) oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan yang memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh menteri;
c) dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan;
d) dengan izin suami, kecuali korban perkosaan; dan
e) penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Menteri.
Untuk tata cara penyelenggaraannya diatur lebih lengkap di Peraturan Pemerintah No 61 Tahun 2014 mengenai Kesehatan Reproduksi khususnya di Bab IV mengenai indikasi kedarurata ,edis dan perkosaan sebagai pengecualian atas larangan aborsi
Bahkan saat pemerintah membuat peraturan yang lebih rinci di PP No 61 tahun 2014 tentang kesehatan Reproduksi, khususnya mengenai pelaksanaan aborsi, sebagian politikus masih terus saja menyatakan penolakan.
Politikus PPP, wakil Ketua Komisi IX DPR Irgan Chairul Mahfiz tanpa tedeng aling-aling menyatakan bahwa melegalkan aborsi bagi korban perkosaan tidaklah tepat, seperti dikutip Republika, 9 Agustus 2014.
Tarik ulur soal ini sepertinya merupakan perdebatan tak berkesudahan di negeri yang sebagian warganya dan sebagian besar politikusnya ingin kelihatan agamis dan terkesan saleh.
Pada akhirnya persoalan tak pernah bisa benar-benar ditangani sebagaimana mestinya karena selalu dibentrokkan dengan pandangan keagamaan yang sempit, atau sekadar untuk konsumsi politik.
Para politikus di satu sisi ingin tampak peduli pada hak perempuan korban perkosaan, tapi di sisi lain selalu memaksakan moralitas keagamaan, yang sebetulnya tidak pada tempatnya diterapkan dalam konteks ini.
Satu persyaratan yang paling rumit untuk dipenuhi dari ketentuan UU -sehingga kerap menjerat korban perkosaan menjadi terpidana- adalah ketentuan pasal 76 UU Kesehatan huruf a, bahwa aborsi hanya dapat dilakukan sebelum kehamilan berumur enam minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis.
Pada kenyataannya, banyak korban pemerkosaan tidak tahu kalau mereka sedang hamil. Lebih-lebih anak-anak di bawah umur, yang masih buta kesehatan reproduksi, akibat akses informasi yang terbatas dan kuatnya tabu untuk membicarakan hal itu secara terbuka.
Berdasarkan pengamatan kasus yang ditangani oleh LBH APIK, dengan ketentuan sekarang, kelompok yang paling tidak terlindungi adalah anak perempuan dengan disabilitas intelektual.
Kehamilan mereka baru diketahui oleh orang tua saat ada perubahan bentuk badan dan biasanya itu baru kelihatan saat memasuki bulan ke-empat atau 12 minggu. Jauh dari batas yang ditetapkan UU.
Inilah yang kerap membuat anak-anak perempuan korban perkosaan dipenjara -karena melakukan aborsi pada umur kehamilan melebihi yang tertera di perundangan.
Jika sedikit `beruntung` seperti Bintang, mendapatkan dukungan bantuan hukum dari pengacara yang punya perspektif dan hakim yang bijak, maka ia bisa lepas dari pemenjaraan meski ia tetap diminta untuk masuk rehabilitasi di panti sosial yang menyediakan akses penuh atas konseling.
Pasal lain lagi yang lumayan rumit dan bisa menghambat adalah soal siapa yang bisa melakukan aborsi.
Menurut UU, yang bisa melakukan aborsi adalah tenaga kesehatan tersertifikasi yang ditetapkan oleh menteri.
Namun, apakah tenaga-tenaga kesehatan tersertifikasi ini mudah diakses dan tersedia di seluruh wilayah di Indonesia? Apakah para korban yang tinggal di daerah terpencil memiliki akses yang sama terhadap layanan aborsi aman ini?
Jika para pemimpin negara ini, dan para politikusnya, bersungguh-sungguh dalam menyelamatkan anak-anak di bawah umur yang menjadi korban perkosaan, mau tidak mau aturan yang ada saat ini harus diubah. Tapi mengubah UU membutuhkan waktu dan energi yang besar.
Jalan alternatif adalah memasukkannya ke dalam RKUHP. Akan tetapi Pasal 502-503 draf RKUHP 9 Juli 2019 ternyata tidak memasukkan perlindungan terhadap perempuan korban perkosaan. Perlindungan hukum hanya diberikan kepada dokter yang melakukan pengguguran kandungan (pasal 504).
Mengingat jadwal pembahasan sudah hampir habis, tipis harapan bahwa RKUHP akan memberi ruang bagi perempuan korban perkosaan untuk mendapatkan layanan aborsi jika mereka hamil.
Dalam situasi seperti ini, pada akhirnya kita hanya bisa mengandalkan penegak hukum, jaksa dan hakim yang memiliki perspektif perlindungan terhadap korban.
Para petugas polisi, jaksa, dan hakim harus terus-menerus diingatkan bahwa korban perkosaan, pertama-tama adalah korban, terlepas apa yang kemudian terjadi padanya atau apa dilakukannya terkait apa yang dideritanya.
Yang harus kita prioritaskan bagi korban adalah melindunginya, memulihkan kesehatan jiwa dan fisiknya, membantunya membangun lagi kehidupannya.
Memenjarakan korban perkosaan karena melakukan aborsi -untuk kandungan yang dipaksakan secara kekerasan terhadapnya dan ia tak menginginkannya serta tak tahu apa lagi apa yang bisa dilakukan- adalah jalan tercepat menghancurkan hidup perempuan.
Komnas Perempuan menyebut kasus kekerasan seksual terhadap anak justru kerap terjadi dalam lingkup rumah tangga, bukan di ruang publik. - PA
Menjadi pertanyaan bagi para hakim, jaksa, polisi: keadilan apa yang mereka coba tegakkan dengan mempidanakan dan memenjarakan korban perkosaan yang melakukan aborsi?
Para Hakim harus mulai mempelajari dan melaksanakan peraturan Mahkamah Agung No 3 tahun 2017 yang berisikan Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum.
Hakim harus memahami ketentuan yang memberikan kepastian agar perempuan tidak mengalami diskriminasi saat berhadapan dengan kasus hukum dan memberikan jaminan kepada perempuan agar mendapat akses keadilan yang setara. Ada jalan keluar lain selain memenjarakan korban.
Tidakkah akan berlipat ganda penderitaan para perempuan korban jika aparat penegak hukum, jaksa atau hakim justru sibuk dengan urusan sistem dan prosedur formal serta kaku?
Tidakkah keadilan yang sejati seharusnya justru yang berperspektif keadilan bagi korban?
Dan mereka harus bertanya lagi apakah putusan hukum mereka justru menguntungkan pelaku dan memojokkan korban?
Yang juga para penegak hukum -polisi, jaksa, hakim, harus teguh adalah, mereka tak perlu takut dituduh kurang bermoral atau dituduh kurang salih jika membuka jalan keadilan bagi para perempuan dan gadis di bawah umur yang terpaksa melakukan aborsi hasil perkosaan.
Dan saya teringat lagi Bintang, gadis 17 tahun yang diperkosa di umur 15 tahun dan divonis bersalah di umur 16 tahun itu.
"Saya ingin jadi pengacara kayak mbak-mbak LBH APIK, biar bisa membantu anak-anak perempuan lain yang (mengalami kekerasan seksual) seperti saya," katanya.
Dia tampak bersungguh-sungguh.
Bintang punya mimpi. Ribuan gadis kecil lain punya mimpi-mimpi lain yang indah.
Namun apakah kita bisa biarkan hukum dan sistem peradilan membunuh mimpi-mimpi mereka?