Saat Korban Perkosaan Aborsi: Mengapa Dipenjara dan Bukan Dikuatkan?
- bbc
Berdasarkan pengamatan kasus yang ditangani oleh LBH APIK, dengan ketentuan sekarang, kelompok yang paling tidak terlindungi adalah anak perempuan dengan disabilitas intelektual.
Kehamilan mereka baru diketahui oleh orang tua saat ada perubahan bentuk badan dan biasanya itu baru kelihatan saat memasuki bulan ke-empat atau 12 minggu. Jauh dari batas yang ditetapkan UU.
Inilah yang kerap membuat anak-anak perempuan korban perkosaan dipenjara -karena melakukan aborsi pada umur kehamilan melebihi yang tertera di perundangan.
Jika sedikit `beruntung` seperti Bintang, mendapatkan dukungan bantuan hukum dari pengacara yang punya perspektif dan hakim yang bijak, maka ia bisa lepas dari pemenjaraan meski ia tetap diminta untuk masuk rehabilitasi di panti sosial yang menyediakan akses penuh atas konseling.
Pasal lain lagi yang lumayan rumit dan bisa menghambat adalah soal siapa yang bisa melakukan aborsi.
Menurut UU, yang bisa melakukan aborsi adalah tenaga kesehatan tersertifikasi yang ditetapkan oleh menteri.
Namun, apakah tenaga-tenaga kesehatan tersertifikasi ini mudah diakses dan tersedia di seluruh wilayah di Indonesia? Apakah para korban yang tinggal di daerah terpencil memiliki akses yang sama terhadap layanan aborsi aman ini?
Jika para pemimpin negara ini, dan para politikusnya, bersungguh-sungguh dalam menyelamatkan anak-anak di bawah umur yang menjadi korban perkosaan, mau tidak mau aturan yang ada saat ini harus diubah. Tapi mengubah UU membutuhkan waktu dan energi yang besar.
Jalan alternatif adalah memasukkannya ke dalam RKUHP. Akan tetapi Pasal 502-503 draf RKUHP 9 Juli 2019 ternyata tidak memasukkan perlindungan terhadap perempuan korban perkosaan. Perlindungan hukum hanya diberikan kepada dokter yang melakukan pengguguran kandungan (pasal 504).
Mengingat jadwal pembahasan sudah hampir habis, tipis harapan bahwa RKUHP akan memberi ruang bagi perempuan korban perkosaan untuk mendapatkan layanan aborsi jika mereka hamil.
Dalam situasi seperti ini, pada akhirnya kita hanya bisa mengandalkan penegak hukum, jaksa dan hakim yang memiliki perspektif perlindungan terhadap korban.
Para petugas polisi, jaksa, dan hakim harus terus-menerus diingatkan bahwa korban perkosaan, pertama-tama adalah korban, terlepas apa yang kemudian terjadi padanya atau apa dilakukannya terkait apa yang dideritanya.
Yang harus kita prioritaskan bagi korban adalah melindunginya, memulihkan kesehatan jiwa dan fisiknya, membantunya membangun lagi kehidupannya.
Memenjarakan korban perkosaan karena melakukan aborsi -untuk kandungan yang dipaksakan secara kekerasan terhadapnya dan ia tak menginginkannya serta tak tahu apa lagi apa yang bisa dilakukan- adalah jalan tercepat menghancurkan hidup perempuan.