Saat Korban Perkosaan Aborsi: Mengapa Dipenjara dan Bukan Dikuatkan?
- bbc
Dan yang menyedihkan dan tak bisa diterima adalah, urusan ini jadi alat politik para politisi di DPR dan partai-partai politik mereka.
Pada 2009 lalu, terjadi perdebatan sengit antara aktivis perempuan dan para politikus saat pembahasan RUU Kesehatan. Aktivis perempuan meminta agar akses untuk layanan aborsi aman diakomodasi sepenuhnya, sementara para politikus dan partai politik menolaknya mentah-mentah.
Jika para aktivis menyodorkan fakta mengenai tingginya angka kematian ibu atas aborsi yang tidak aman dan argumen perlindungan terhadap hak perempuan maka para politikus dan pembuat undang-undang bersikukuh dengan argumentasi moral dan agama.
Hasil akhir pasal aborsi di UU Kesehatan amat jauh dari standar UU dunia modern sekarang ini, dan jauh dari apa yang diharapkan para aktivis perempuan. Betapa pun, aborsi diberi kemungkinan untuk dilakukan, namun syaratnya ketat dan hanya dapat diberikan kepada perempuan korban perkosaan dan perempuan yang mengalami indikasi kedaruratan medis.
Masalahnya, syarat untuk mengakses layanan aborsi ini pun sangat rumit dan berat. Nyaris mustahil untuk diakses.
Para legislator berkilah bahwa pasal yang memungkinkan aborsi itu, betapa pun peliknya, sudah maksimum.
"Yang tertera dalam RUU itu adalah kompromi yang paling mungkin," kata Mariani Baramuli dari Partai Golkar yang dikutip oleh Kompas 15 September 2009.
Problemnya, ketentuan dalam UU yang memberi sedikit ruang bagi korban perkosaan untuk mengakses layanan aborsi, tidak banyak diketahui.
Berdasarkan pasal 75 ayat (1) UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, pada dasarnya, setiap orang dilarang melakukan aborsi .
Pengecualian terhadap larangan melakukan aborsi diberikan dalam dua kondisi berikut:
a) indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau
b) kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan.
(lihat Pasal 75 ayat 2 UU Kesehatan)
Namun, tindakan aborsi yang diatur dalam Pasal 75 ayat 2 UU Kesehatan itu juga hanya dapat dilakukan setelah melalui konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang (lihat Pasal 75 ayat [3] UU Kesehatan).