Gempa Darat dan Laut Berpotensi Melanda Sumbar
- Antara/ Ismar Patrizki
VIVA – Gempa bumi dengan magnitude 5,4 Skala Richter yang disebabkan aktivitas Zona Sesar Sumatera di Segmen Sumani pada Sabtu 21 Juli 2018, pukul 14.58 WIB, kembali membuktikan jika wilayah Provinsi Sumatera Barat, memiliki potensi kegempaan yang sangat besar.
Potensi gempa di Ranah Minang ini, tidak hanya berasal dari daratan. Namun, juga laut. Zona Megathrust Mentawai dan Sesar Sumatera, merupakan dua potensi kegempaan yang menjadi ancaman serius bagi masyarakat penganut sistem kekerabatan matrilineal ini.
Peneliti sejarah kegempaan Sumatera Barat, Yose Hendra mengatakan, Sumbar merupakan salah satu wilayah yang memiliki potensi kekayaan yang sangat luar biasa. Baik dari sisi keindahan alam, kuliner hingga seni dan budaya.
Gugusan Bukit Barisan yang membentang dari Aceh hingga Teluk Betung, Lampung berpusat di Sumatera Barat. Lekuk dan ceruk-ceruk dalam dan sempit, membentuk lembah dan ngarai-ngarai yang menawan seperti, Ngarai Sianok, Lembah Harau, Lembah Anai, Silokek, dan Ngalau.
Namun, siapa sangka, di balik keindahan alam itu, Sumatera Barat bak api dalam sekam. Pada tanahnya mendekam Patahan Sumatera atau Patahan Semangko yang sangat aktif.
Selain itu, pada lautnya di sisi barat yang menyimpan sejuta keindahan dan keanekaragaman bahari, juga bersemayam Lempeng Indo-Australia dan Lempeng Eurasia yang terus berdenyut.
Sewaktu-waktu, dengan waktu dan episentrum yang tidak bisa ditebak, lempeng tersebut akan melepas kuncian, bergerak mengeluarkan energi melahirkan guncangan yang secara jamak disebut dengan Lindu.
"Sumatera Barat adalah salah satu daerah rawan bencana gempa. Topografisnya berbukit dan berlembah yang dihuni oleh beberapa gunungapi aktif seperti Gunung Marapi, Gunung Talang, dan Gunung Tandikek. Kondisi ini menjadikan wilayah Sumatra Barat sering diguncang letusan gunung api yang kadang diikuti lindu pula," kata Yose Hendra, Senin 23 Juli 2018.
Sejumlah pakar lanjut Yose, gempa terjadi karena adanya pergesekan antarlempeng tektonik yang berada di bawah permukaan bumi. Dampak dari pergesekan itu menimbulkan energi yang luar biasa dan dapat menimbulkan guncangan di permukaan yang kemudian dapat menimbulkan kerusakan hebat pada sarana dan prasarana, serta korban jiwa.
Akumulasi energi penyebab terjadinya gempa bumi ini, dihasilkan dari pergerakan lempeng-lempeng tektonik. Energi yang dihasilkan, kemudian dipancarkan ke segala arah berupa gelombang gempa bumi, sehingga efeknya dapat dirasakan sampai ke permukaan bumi.
Yose menjelaskan, berdasarkan hasil riset para ahli kegempaan menyebutkan, Sumatera Barat, merupakan bagian integral Indonesia, terletak di kawasan yang dinamakan "Pacific Ring of Fire", yaitu sebuah zona di mana sangat sering terjadi gempabumi dan meletusnya gunung berapi.
Lebih dari 90 persen gempa bumi yang terjadi di dunia, dan sekitar 81 persen gempa berkategori kuat terjadi di zona ini.
Berada di simpul seismik dunia, setidaknya ada dua sumber besar gempa bumi yang berada di perut bumi Sumatera Barat atau sekitarnya. Pertama, gempa bumi yang bersumber dari peristiwa subduksi yang terjadi ketika akibat tabrakan atau pertemuan dua lempeng samudera Indo-Australia dan lempeng Eurasia.
"Sejumlah ahli menyebutkan, proses subduksi akan terus berproses, sehingga gempa bumi pun akan terus berlangsung. Hal inilah yang menjadi sumber gempa yang juga bisa memicu tsunami," kata Yose.
Yang kedua, gempa bumi yang disebabkan patahan besar yang ada di darat, yaitu Sesar Sumatera atau Patahan Sumatera, kadang juga disebut dengan istilah Sesar Semangko atau Patahan semangko. Patahan ini membentang sepanjang 1.900 kilometer dari teluk Semangko di Lampung hingga ke Aceh.
Bahkan, geolog Dany Hilman dan Kerry Sieh jelas Yose, sesar Sumatera ini dibagi tiga wilayah, yakni wilayah utara, wilayah tengah, dan wilayah selatan. Dari 19 parameter sumber gempa pada sesar Sumatera, tujuh di antaranya berada di teritorial Sumatera Barat.
Ketujuh segmen tersebut adalah Segmen Angkola, Segmen Barumun, segmen Sumpur, Segmen Sianok, Segmen Sumani, Segmen Suliti, dan Segmen Siulak.
Kejadian gempa bumi besar dengan menimbulkan korban jiwa, serta merusak infrastruktur dan bangunan yang ada di Sumatera Barat, umumnya terjadi pada wilayah yang merupakan jalur Patahan Semangko dan kawasan yang dekat dengan zona subduksi, pertemuan ketiga lempeng di Samudra Hindia.
"Dalam sejarah modern Sumatera Barat, gempa 30 September 2009 menjadi bencana paling mematikan dan paling merusak. Gempa yang berkekuatan 7,9 SR tersebut, berpusat di kawasan Padang Alai, Kabupaten Padangpariaman. Dampaknya, menyebar hingga kesejumlah daerah. Gempa ini menyebabkan 1.195 jiwa tewas, 181.995 unit rumah rusak berat dan rusak sedang, serta 67.838 unit rumah rusak ringan," kata Yose.
Riwayat Gempa
Yose Hendra menjelaskan, secara historis, Sumatera Barat merupakan daerah langganan gempa dengan catatan 790 kejadian sepanjang 1900-2010. Dari angka tersebut, delapan gempa dikategorikan megathrust atau gempa berkekuatan besar dengan rincian, tahun 1797,1833, 1926, 2004, 2005, 2007, 2009, dan 2010.
Gempa tahun 1797, merupakan serangkaian gempa awal yang terjadi pada bagian segmen Sumatera di Sesar Sunda. Gempa ini menimbulkan tsunami di Kota Padang. Sejauh ini, gempa yang bersumberkan dari lempeng di dasar laut lebih sering ketimbang yang bersumber di daratan.
Sejarah kegempaan Sumatera Barat juga pernah dibarengi tsunami seperti gempa tahun 1797, 1883, dan tahun 2010. Gempa bumi tersebut merusak dan meruntuhkan sejumlah rumah warga. Kuatnya gelombang tsunami juga sanggup menggeser sebuah kapal bermuatan 150 ton hingga 200 ton milik Inggris, yang tengah sandar di pelabuhan Batang Arau.
Gelombang tsunami itu menjangkau kota hingga radius satu kilometer ke daratan. Di Pantai Air Manis, selatan Padang juga dilaporkan perahu-perahu kecil hanyut hingga 1,8 kilometer kehulu sungai. Sebagian ahli memperkirakan, munculnya tsunami akibat longsor di bawah laut yang dipicu gempabumi.
Dalam penelitiannya, Yose Hendra juga menyebutkan hampir empat puluh tahun berikutnya, tepatnya 25 November 1833, gempa disertai tsunami kembali terjadi di Sumatera Barat. Gempa tersebut terjadi pukul 22.00 WIB dengan kekuatan berkisar 8,8 SR hingga 9,2 SR.
Peristiwa gempa 1833 ini, kemudian sedikit disinggung Ridder van de Militaire Willems Orde Kelas IV Letnan I Infanteri J.C Boelhouwer. Dia bertugas di Sumatera Barat dari tahun 1831 hingga 1834.
"Dalam memori dengan judul Kenang-Kenangan di Sumatera Barat selama tahun-tahun 1831-1834, dia menceritakan, ketika bertamu ke rumah seorang pejabat Belanda pada malam di tahun 1833, terasalah guncangan gempa. Dia melihat seorang gadis yang duduk di atas bangku hampir saja meluncur sebelum dipegang oleh beberapa orang pemuda," kata Yose.
Meski beberapa kurun waktu terakhir gempa 30 September 2009, termasuk salah satu gempa tektonik terbesar dalam sejarah kegempaan Indonesia, namun menurut para ahli gempa, ancaman gempa besar di Sumatera Barat akan terus berlanjut, bahkan dengan ancaman lebih besar dibanding 2009 tersebut.
Prediksi itu mulai tersibak, ketika selanjutnya terjadi rentetan gempa-gempa kecil di kawasan Sumatera Barat. Puncaknya, pada 25 Oktober 2010 di Pulau Pagai, Kabupaten Kepulauan Mentawai.
Gempa dengan kekuatan 7,2 SR tersebut menimbulkan tsunami setinggi tiga hingga tujuh meter. Data yang dilansir dari Rencana Aksi Mentawai, tsunami itu menimbulkan korban tewas sebanyak 509 orang, 17 orang mengalami luka-luka, 21 orang hilang, dan 11.425 orang mengungsi, 1.269 rumah rusak.
"Kenyataan, sejarah ini mempertegas, jika wilayah Sumatera Barat merupakan salah satu daerah yang paling rawan terkena gempa atau tsunami. Maka dari itu, sudah sepatutnya rentetan sejarah gempa dan tsunami yang berlalu dipelajari dengan seksama untuk menjadi bahan masukan bagi kesiapsiagaan ke depannya," kata Yose.