Cerita Lengkap Yuniarti, Penderita Kanker yang Jadi 'Korban' BPJS
- VIVA.co.id/Ahmad Rizaluddin
VIVA - Penderita kanker payudara, Yuniarti Tanjung, dan keluarganya berniat menggugat Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan dan juga Presiden Jokowi. Mereka kecewa karena lembaga tersebut menghapus obat yang seharusnya mereka dapatkan selaku peserta BPJS Kesehatan.
Sang suami, Edy Hariadi, menuturkan bahwa kejadiannya ini bermula pada bulan Desember 2017. Saat itu, keluarga istrinya melihat ada pembengkakan di leher atau di kelenjar getah bening sebelah kanan istri saya.
Karena oleh kantornya diberikan kartu Badan Pelayanan Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan untuk asuransi kesehatan, pada bulan Januari 2018, istrinya kemudian memeriksakan diri ke Puskemas Duren Sawit, Jakarta Timur, puskesmas terdekat dengan domisili mereka sesuai prosedur BPJS. Lalu oleh Puskesmas Duren Sawit, istrinya dirujuk ke bagian spesialis penyakit dalam Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Budhi Asih, Jakarta Timur.
"Setelah menjalani pemeriksaan, dokter di RSUD Budhi Asih curiga benjolan itu kanker. Karena tidak ada dokter spesialis kanker atau onkologi di sana, maka sejak awal Februari 2018, istri saya dirujuk ke Rumah Sakit (RS) Persahabatan, Rawamangun, Jakarta Timur. Di sana istri saya ditangani oleh Dr. Budi Harapan Siregar, Sp.B (K) Onk," kata Edy dalam keterangan tertulis yang diterima VIVA, Senin, 16 Juli 2018.
Oleh dokter, lanjut dia, kemudian dilakukan biopsi, atau pengambilan jaringan pada leher kanan istrinya. Ternyata hasilnya positif kanker. Tapi menurut pemeriksaan laboratrium Patologi Anatomi (PA) RS Persahabatan itu bukan kanker utama melainkan kanker yang sudah metastasis (menyebar). Diduga, sumber utamanya berasal dari payudara.
"Kesimpulan PA biopsi leher:Â metastase adenokarsinoma yang dapat berasal dari payudara (ditandatangani oleh ahli patologi dr. Romi Baginda, Sp.PA)," kata dia.
Untuk memastikan, dokter pun mengirim hasil PA itu kembali ke bagian laboratorium PA Rumah Sakit Persahabatan untuk diperiksa lebih teliti dengan pemeriksaan Imuno Histo Kimia atau IHK. Hasil IHK yang dilakukan laboratrium Kalgem: ER +, PR+, Her2+ dengan overexpressed, kategori 3+score, Ki67: expressed, moderate to strong intensity 60% to 70% (highly proliferative).
"Dengan kata lain istri saya dinyatakan penderita kanker payudara HER2 positif yang sudah mengalami metastasis atau penyebaran. Hasil IHK itu keluar 10 Mei 2018," kata Edy.
Edy mengatakan setelah operasi pengangkatan payudara sebelah kanan, hasil PA menunjukkan daging di payudara istrinya memang mengandung tumor ganas. Mantan wartawati majalah Femina itu positif menderita kanker payudara HER2 positif, metastasis dan berada di stadium 3 B.
Paska operasi, Yuniarti disarankan menjalani kemoterapi. Pada 24 Juni 2018, dokter pun meresepkan tiga obat kemoterapi dan satu obat yang tergolong terapi target untuk pengobatan kanker payudara HER2 positif, yaitu herceptin atau nama lain trastuzumab.
Untuk diketahui, trastuzumab adalah obat yang aman, bermutu dan berkhasiat yang perlu dijamin aksesbilitasnya dalam rangka pelayanan Jaminan Kesehatan Nasional menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI tentang Formularium Nasional 2018 yang ditetapkan pada 28 Desember 2017. Di halaman 66 pada poin 43 keputusan itu menyebutkan secara tegas bahwa trastuzumab diberikan pada pasien kanker payudara metastatik dengan HER 2 positif (+++) dan wajib dijamin ketersedian obatnya oleh BPJS Kesehatan.
Edy menuturkan obat trastuzumab memang sudah terbukti efektif memperpanjang usia penderita kanker HER2 positif. Contoh hidupnya adalah Aryanthi Baramuli Putri, Ketua Umum Cancer Information Support Center (CISC), seorang penderita kanker payudara HER2 positif yang sudah bertahap hidup 15 tahun lebih berkat trastuzumab atau herceptin. Kebetulan istri saya dan Aryanthi Baramuli sudah berteman lama.
Tak Ditanggung BPJS
Tapi masalah muncul ketika pihak apoteker Rumah Sakit Persahabatan menolak resep kami untuk herceptin atau trastuzumab. Alasannya karena sejak 1 April 2018 obat trastuzumab dihentikan penjaminannya oleh BPJS Kesehatan. Belakangan, Edy dan keluarga baru tahu penjaminan itu dihentikan BPJS atas dasar pertimbangan Dewan Pertimbangan Klinis BPJS yang menganggap obat itu tidak bermanfaat secara medis.
Tapi menurut Edy, BPJS menghentikan penjaminan trastuzumab karena obat itu terlalu mahal. Dia mengakui obat itu memang mahal. Harganya di pasaran Rp25 juta. Sementara seorang penderita kanker HER2 positif minimal harus menjalani 8 sesi dari 16 sesi pengobatan dengan trastuzumab.
"Tapi, apakah karena mahalnya harga obat tersebut menyebabkan penderita kanker payudara HER2 positif mengalami diskriminasi untuk mendapat pengobatan terbaik?" kata dia.
Sementara menurut Edy, publik tahu BPJS Kesehatan terus-menerus merugi. Maka sejak November 2017 direksi BPJS sudah aktif mewacanakan "cost sharing" bagi penderita penyakit berat seperti kanker dan jantung. Tapi usulan itu kemudian ditolak oleh DPR dan pemerintah. Pemerintah selama ini lebih memilih menutup defisit keuangan BPJS.
"Nah, kini direksi BPJS Kesehatan agaknya kembali mencoba menerapkan efisiensi, tapi dengan cara melibas obat-obat mahal. Itu bisa dilihat kawan-kawan dengan cara meng-goggle dengan kata kunci: "trastuzumab BPJS"," ujar dia.
Apalagi, kata Edy, dari pertemuan kami dengan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan BPJS, R. Maya Amiarny Rusady dan Ketua Dewan Pertimbangan Klinis BPJS, Prof Agus Poerwadianto, Selasa petang, tanggal 3 Juli 2018, di kantor pusat BPJS di Jakarta, alasan mereka menyetop penjaminan obat trastuzumab masih samar-samar dan mengambang.
"Pada pertemuan itu kami juga baru memperoleh salinan surat Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan BPJS R. Maya Amiarny Rusady Nomer 2304/III.2/2018 tertanggal 16 Februari 2018 yang ditujukan ke Kepala Cabang BPJS di seluruh Indonesia untuk menghentikan penjaminan terhadap trastuzumab sejak 1 April 2018. Celakanya, istri saya justru baru terdeteksi sebagai penderita kanker payudara HER2 positif di bulan Mei 2018," tuturnya.
Sore setelah pertemuan itu, Edy dihubungi Nopie Hidayat, Kepala Humas BPJS, yang memberikan alamat email dan meminta saya menulis kronologi sakitnya istri saya, Juniarti, dan harapan saya ke direksi BPJS untuk ditindaklanjuti untuk melengkapi dokumen yang sebelumnya kami berikan. Dia pun mengirim surat melalui email yang menyatakan saya masih berharap kebijaksanaan direksi BPJS agar tetap menjamin obat trastuzumab yang sudah terbukti efektif memperpanjang usia penderita kanker payudara HER2 positif.
"Saya memberi waktu hingga istri saya menjalani kemoterapi pertama pada tanggal 10 Juli 2018 di RS Persahabatan Jakarta Timur," katanya.
Namun, hingga kemoterapi pertama berlangsung, obat trastuzumab tidak diberikan. Di saat istrinya menjalani kemoterapi pertama tanpa trastuzumab, dia ditelepon kembali oleh Nopie Hidayat yang menyatakan kasus saya tengah diproses. Namun prosesnya terkesan lebih pada mengaudit dokter di RS Persahabatan mengapa memberi istri saya obat herceptin atau trastuzumab.
"Saat saya tanya bagaimana dengan permintaan saya tentang transuzumab, dia bilang belum. Ketika saya desak lagi, dia mengatakan direksi BPJS tidak akan menjamin. Karena direksi BPJS percaya masih ada 22 obat kanker di luar trastuzumab. Tapi BPJS tidak pernah menyebutkan obat apa di luar trastuzumab yang telah terbukti secara ilmiah, medis dan empiris memperpanjang usia penderita kanker payudara HER2 positif," katanya.
Oleh karena itu, Edy, istrinya, dan juga anak tunggal mereka, Raka Arung Aksara, akan menggugat Direksi BPJS dan Presiden Jokowi secara hukum atas penghapusan obat lini pertama trastuzumab -karena BPJS seolah tengah membisniskan perkara nyawa- yang sangat penting untuk memperpanjang usia penderita kanker payudara HER2 positif.
"Ini bisa dicek di jurnal ilmiah, media massa, dan saksi hidup seperti Aryanthi Baramuli, Ketua Umum Cancer Information Support Center (CISC) yang juga hadir dalam pertemuan dengan Direksi BPJS dan sampai sekarang sudah bertahan hidup selama 15 tahun lebih dari kanker payudara HER2 positif berkat trastuzumab atau herceptin," katanya.
Terlebih lagi, tambah Edy, obat itu memang masuk dalam jenis obat yang harus diresepkan dalam Formularium Nasional tahun 2018 untuk penderita kanker HER2 positif yang baru ditanda-tangani 28 Desember 2017 oleh Menteri Kesehatan Nila Djuwita F. Moeloek dan berlaku untuk tahun 2018. Apalagi penderita HER2 positif sangat sedikit. Jumlahnya hanya 20 persen dari semua penderita kanker payudara.
"Terlebih hak paten herceptin, merek dagang obat trastuzumab, akan berakhir tahun 2019. Sehingga obat generik pada tahun itu akan bisa dibuat sehingga bisa menekan biaya tinggi pada pengobatan kanker payudara HER2 positif yang salah satunya tengah dikembangkan oleh BUMN farmasi, Biofarma," katanya.
Edy juga mengungkapkan mengapa Presiden Jokowi turut digugat. Dia mengatakan Undang-Undang No 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, Direksi BPJS Kesehatan bertanggungjawab langsung pada Presiden RI.
"Hanya Presiden yang bisa memberhentikan Direksi BPJS. Presiden ikut digugat karena dia bertanggungjawab atas pembiaran terhadap aksi sepihak Direktur BPJS Kesehatan yang menghapus obat trastuzumab yang amat dibutuhkan penderita kanker payudara HER2 positif," katanya.