Polisi Lacak Pengunggah Foto Bocah Korban Bom Pasuruan
- VIVA/Nur Faishal
VIVA – Kepolisian Daerah Jawa Timur melacak akun instagram @bubbl3licious gara-gara mengunggah foto UMR (6), bocah korban bom meledak di Desa Gempeng, Kecamatan Bangil, Kabupaten, Pasuruan, Jawa Timur, beberapa waktu lalu.
UMR adalah anak dari ABD dan istrinya, RD (40). Dia terkena ledakan bom yang dirakit ayahnya di rumah kontrakan mereka, Desa Gempeng, Kecamatan Bangil, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, dua pekan lalu. ABD kabur setelah bom meledak, sedangkan UMR dilarikan ke rumah sakit. Adapun istri ABD, RD menjalani pemeriksaan.
Penelusuran VIVA di akun @bubbl3licious pada Rabu petang, 11 Juli 2018, foto yang dipersoalkan itu masih terpampang. Banyak komentar terunggah pula di akun tersebut.
Dalam keterangan waktu tertulis bahwa foto tersebut diunggah oleh pemilik akun 'satu hari yang lalu' atau Selasa, 10 Juli 2018.
Dalam foto tersebut terlihat, si bocah terbaring dalam pelukan seorang suster di atas bangsal rumah sakit. Tubuh si bocah terbalut selimut berwarna hijau dan pink.
Hanya bagian wajahnya yang terbuka dan terlihat hitam seperti luka bakar. Akun @bubbl3licious menuliskan keterangan foto 'Lihat Si Kecil Korban Bom Ayahnya Sendiri #BomBangil’ dan narasi empatik.
Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Jatim, Komisaris Besar Polisi Frans Barung Mangera, menyayangkan foto bocah korban bom Pasuruan itu tersebar di medsos. Dia tidak menyalahkan suster yang memeluk korban.
"Yang salah pengunggahya," katanya kepada wartawan di Surabaya.
Barung mengatakan, mengunggah anak-anak korban terorisme di media sosial bisa masuk pada kategori mengeksploitasi anak. Menurutnya, Undang Undang Perlindungan Anak melarang tindakan seperti itu. "Kita bisa proses itu," ujarnya.
Mantan kabid Humas Polda Sulselbar itu menerangkan, kondisi si bocah sampai saat ini masih dirawat di RS Bhayangkara Polda Jatim. Kondisinya dari hari ke hari makin membaik.
"Tolong kepada warga masyarakat agar memahami bahwa mengunggah dan menyebarkan foto anak-anak korban teroris tidak diperbolehkan," ujarnya.
Di bagian lain, pakar terorisme dari Universitas Indonesia, Solahuddin, mengatakan, media sosial berkontribusi pada cepatnya penyebaran paham radikalisme di zaman sekarang dibandingkan beberapa puluh tahun lalu. Media sosial jadi medium promosi kelompok teroris, selain media massa.
"Dulu, butuh waktu lima sampai sepuluh tahun bagi seseorang terpapar pemahaman radikal sampai beraksi teror," katanya di sela workshop 'Penguatan Persepektif Korban dalam Peliputan Terorisme' oleh Yayasan Aida di Surabaya, Jawa Timur, pada Selasa-Rabu, 10-11 Juli 2018.