Kwik Kian Gie Tolak Pemberian SKL BLBI Meski Disetujui Megawati
- VIVAnews/Muhamad Solihin
VIVA – Mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Kwik Kian Gie mengklaim paling keras menentang pemberian surat keterangan lunas (SKL) terhadap debitur penerima BLBI.
Sikap itu, kata dia, selalu dia utarakan saat menghadiri rapat-rapat dengan Presiden RI saat itu, Megawati Soekarnoputri.
Demikian diungkapkan Kwik saat bersaksi untuk terdakwa mantan Kepala BPPN, Syafruddin Arsyad Temenggung, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis 5 Juli 2018.
"Penerbitan SKL sangat berbahaya dan akan menimbulkan permasalahan dan akan merugikan negara sangat besar," kata Kwik.
Menurut Kwik, pada sekitar tahun 2002-2004, dia diminta Megawati untuk hadir di kediaman Mega di Jalan Teuku Umar. Pertemuan itu dihadiri Dorodjatun Kuntjoro Jakti selaku Menteri Koordinator Bidang Perekonomian.
Kemudian, Laksamana Sukardi selaku Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan dihadiri Jaksa Agung. Waktu itu dibicarakan pemerintah berencana terbitkan SKL kepada debitur yang bersikap kooperatif.
"Saat itu saya menolak, karena hanya obligor yang benar-benar membayar utang ke kas negara yang berhak menerima," terang Kwik.
Setelah itu, menurut Kwik, dilakukan pertemuan kedua di Istana Negara, dengan dihadiri orang-orang yang sama. Perbedaan pendapat yang dilontarkan Kwik membuat rapat terbatas itu tidak menghasilkan kesimpulan.
Kemudian, dilakukan pertemuan ketiga yang kembali berlokasi di Istana Negara. Dalam rapat terbatas yang juga dihadiri Yusril Ihza Mahendra selaku Menteri Kehakiman itu, Megawati akhirnya setuju agar SKL diterbitkan bagi obligor BLBI yang bersikap kooperatif.
"Keputusan saya tetap tidak setuju dengan penerbitan SKL," kata Kwik.
Kerugian Negara
Dalam kasus ini, Syafruddin didakwa merugikan negara sekitar Rp4,5 triliun terkait penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) BLBI kepada Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI).
Menurut jaksa, perbuatan Syafruddin telah memperkaya Sjamsul Nursalim, selaku pemegang saham pengendali BDNI tahun 2004. Keuntungan yang diperoleh Sjamsul dinilai sebagai kerugian negara.
Menurut jaksa, Syafruddin selaku Kepala BPPN diduga melakukan penghapusan piutang BDNI kepada petani tambak yang dijamin oleh PT Dipasena Citra Darmadja serta PT Wachyuni Mandira (PT WM).
Selain itu, Syafruddin disebut telah menerbitkan Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham. Padahal, menurut jaksa, Sjamsul Nursalim belum menyelesaikan kewajibannya terhadap kesalahan dalam menampilkan piutang BDNI kepada petambak, yang akan diserahkan kepada BPPN. Kesalahan itu membuat seolah-olah sebagai piutang yang lancar (misrepresentasi). (ren)