Kisah Toleransi Suku Tengger di Kaki Gunung Bromo
- bbc
Pemuka agama Buddha di Ngadas, Ponadi menjelaskan kerukunan umat beragama tak terlepas dari peran kepala desa, Mujianto, yang juga berperan sebagai Kepala Adat.
Agama ditempatkan sebagai keyakinan setiap individu, namun seluruh masyarakat suku Tengger harus terlibat dan aktif dalam melestarikan adat budaya. Terutama upacara adat yang rutin diselenggarakan suku Tengger di lereng Gunung Bromo.
"Masing-masing agama punya tuntutan sendiri. Kenapa bertengkar? Kenapa ?" kata Ponadi. Setiap umat, katanya, bebas beribadah sesuai keyakinan dan umat lain ikut menghormatinya. Sedangkan saat upacara adat, semua tokoh agama berkumpul.
"Di Ngadas semua adalah keluarga, semua saudara. Tetap tentram dan rukun. Tak ada masalah agama," ujarnya.
Kepala Desa Mujianto menjelaskan jika secara legalitas, kata Timbul, suku Tengger di Ngadas memeluk agama Hindu, Buddha dan Islam sejak 1970-an. Setelah pemerintah menetapkan lima agama yang diakui pemerintah. Sementara keyakinan masyarakat setempat sebagai agama lokal tak diakui. "Ada yang memeluk Buddha, Hindu dan Islam," ujarnya.
Namun, selama ini tetap berdampingan dan hidup rukun. Tak pernah ada konflik agama. Lantaran orang tua selalu berpetuah dan ditanamkan sejak dini di keluarga untuk menjaga kerukunan dan keharmonisan. Ia tinggal bersama serumah dengan Ibunya yang memeluk Buddha dan mertuanya yang beragama Hindu.
"Berurutan Ibunya melaksanakan Waisak, mertuanya beribadah galungan dengan menyiapkan sesaji. Sementara saya, anak dan istri tetap melaksanakan puasa," ujarnya. Selama ini, katanya, tetap saling menghormati ibadah dan tak mempermasalahkan keyakinan masing-masing.