Refly: Susah Indikator Menilai Kinerja BPIP
- Istimewa
VIVA – Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) menjadi sorotan karena mencuatnya besaran gaji pejabatnya ke publik. Pakar hukum tata negara Refly Harun menilai, sistem penggajian di Indonesia memang aneh.
Menurutnya, kalau dari struktur pemerintah seharusnya Presiden RI sebagai kepala negara mendapatkan gaji tertinggi. Berikutnya Wakil Presiden. Selanjutnya, ketua lembaga serta pejabat menteri.
"Harusnya tertinggi itu presiden, di bawahnya wakil presiden, di bawahnya lagi kektua lembaga, kemudian menteri. Menteri itu sama dengan Ketua DPD, Ketua DPR, Ketua MPR," kata Refly dalam acara Apa Kabar Indonesia Pagi tvOne, Jumat, 1 Juni 2018.
Refli juga menyoroti BPIP bukan sebagai lembaga yang dibentuk berdasarkan konstitusi. Dasar pembentukan BPIP adalah Peraturan Presiden Nomor 42 Tahun 2018. Menurutnya dia, dengan dasar ini maka BPIP tak bisa disejajarkan dengan lembaga seperti DPR, MPR, Mahkamah Konstitusi (MK), Bank Indonesia (BI).
"Kalau berdasarkan konstitusi, berdasarkan UU sulit dibubarkan, tapi dasarnya Perpres bila pemerintahan berganti akan diganti," lanjut Refly.
Baca: Mahfud Sebut Motif Politik di Balik Serangan Gaji Megawati
Terkait kinerja BPIP, ia melihat sulit mengukurnya. Sebab, penilaian itu harus mengacu kinerja yang dihasilkan.
"Ada input, output, outcome. Indikator menilai kinerjanya, itu kan susah. Apakah misalnya kinerja selama setahun ini," ujar Refly.
Ia mencontohkan era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono ada lembaga bernama Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4). UKP4 juga dibentuk berdasarkan Perpres. Lembaga ini untuk memberikan penilaian terhadap kinerja kementerian.
"Ada penilaian rapor merah, kuning, hijau. Dengan menerima rapor tersebut, kementerian bisa terpacu," tuturnya.
Baca: Gaji Megawati di BPIP Rp112 Juta Per Bulan, Fadli Zon: Aneh