RUU KUHP Dinilai Melemahkan KPK

Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Laode Muhammad Syarif
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto

VIVA – DPR tahun ini siap mengesahkan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) menjadi Undang-undang. Cara DPR ini menarik perhatian dan direspons kritik. Salah satunya dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

KPK berharap rencana pengesahan RUU KUHP tersebut tidak berakibat merugikan pemberantasan korupsi di Indonesia.

"Kami memandang, masih terdapat aturan yang berisiko memperlemah KPK dan pemberantasan korupsi jika sejumlah pasal-pasal tentang tindak pidana korupsi masih dipertahankan di RUU KUHP tersebut," kata Wakil Ketua KPK, Laode Muhammad Syarif di kantornya, Jalan Rasuna Said Kuningan Jakarta Selatan, Rabu malam, 30 Mei 2018.

Pada prinsipnya sikap KPK menolak dimasukkannya tindak pidana khusus, termasuk tindak pidana korupsi ke dalam RKUHP. KPK meminta agar tindak pidana korupsi seluruhnya tetap diatur dalam UU khusus di luar KUHP.

"Terdapat sejumlah persoalan yang kami pandang berisiko bagi KPK ataupun pemberantasan korupsi ke depan," ujarnya.

Laode menyebut, masalah kewenangan kelembagaan KPK yang diatur UU KPK menentukan mandat KPK adalah memberantas korupsi sebagaimana diatur dalam UU Tipikor, bukan dalam KUHP (Pasal 1 angka 1 UU KPK).

"Sementara di RUU KUHP tidak ada penegasan soal kewenangan lembaga KPK. Aturan-aturan baru yang diadopsi dari UNCAC (United Nations Convention Against Corruption) seperti korupsi di sektor swasta dan lain-lain pun beresiko tidak dapat ditangani oleh KPK," katanya.

Suasana Rapat Paripurna Penutupan Masa Sidang di Komplek Parlemen DPR RI

Kemudian, masalah disparitas atau perbedaan ketentuan Undang-Undang Tipikor dan RUU KUHP. Dalam RUU KUHP, tidak mengatur pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti dan RKUHP mengatur pembatasan penjatuhan pidana secara kumulatif (Pasal 63 RKUHP).

"RUU KUHP mengatur pengurangan ancaman pidana sebesar 1/3 terhadap percobaan, pembantuan, dan permufakatan jahat tindak pidana korupsi. Hal berbeda dengan UU Tindak Pidana Korupsi saat ini," tuturnya.

Rekomendasi KPK

Dengan demikian, KPK menghargai semangat untuk mengkonsolidasikan dan mensistematisasi RUU KUHP. Namun karena ujung semua upaya ini adalah efektivitas penegakan hukum, maka seharusnya kepentingan penegak hukum menjadi prioritas.

"Sehingga pengaturannya sepatutnya memilih mana yang lebih dirasa efektif oleh penegak hukum, khususnya dalam pemberantasan korupsi," ujar Laode.

Dalam konteks pemberantasan korupsi, ia memandang pengaturan delik korupsi secara keseluruhan di UU khusus atau UU Tipikor seperti yang ada saat ini dinilai lebih efektif.

Maka, agar penyelesaian RUU KUHP tidak berlarut-larut maka KPK mengusulkan Pemerintah mengeluarkan delik-delik khusus seperti Tipikor, Narkotik, Pelanggaran HAM, Pencucian Uang, Tindak Pidana Terorisme sehingga delik-delik khusus diatur seluruhnya diluar RUU KUHP.

RUU KUHP: Memaksa Istri Berhubungan Badan, Suami Bisa Dibui 12 Tahun

Menurutnya, revisi delik korupsi akan lebih efektif dan sederhana dilakukan melalui revisi Undang-undang Tipikor, termasuk kebutuhan untuk memasukkan ketentuan United Nations Convention against Corruption (UNCAC) yang belum masuk kedalam UU Tipikor.

"Sekali lagi, KPK mengingatkan pada semua pihak, bahwa korupsi adalah kejahatan yang luar biasa yang berakibat sangat buruk terhadap bangsa ini. Keseriusan kita semua dalam pemberantasan korupsi sangat dibutuhkan," katanya. (ren)

Menkumham Sebut Pasal Penghinaan Presiden di RKUHP untuk Jaga Martabat
Ilustrasi pelecehan seksual

Suami Paksa Istri Hubungan Intim Kena Pidana, Apa Itu Marital Rape?

Dengan adanya RUU KUHP, persoalan Marital Rape rencananya akan ditambah sebagai pasal 479 soal persetubuhan dengan orang lain.

img_title
VIVA.co.id
15 Juni 2021