DPR Soroti Audit BPK di Kasus BLBI
- www.streetdirectory.com
VIVA - Anggota Komisi XI DPR, Haerul Saleh, menyoroti dua hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan terhadap Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Pertama pada 25 Agustus 2017 yang menyatakan ada unsur kerugian negara, kedua pada 2006, yang menyebut tidak ada unsur kerugian negara dalam menilai kerja BPPN yang dibubarkan pada tahun 2004.
"Ada apa, kok lembaga yang sama bisa menghasilkan dua audit yang berbeda hasilnya. Bagaimana publik mau percaya kalau BPK adalah lembaga yang kredibel," kata Haerul kepada wartawan, Rabu, 30 Mei 2018.
Menurut Hairul ada permasalahan serius, mengenai hasil audit yang berbeda-beda, yakni soal kredibilitas lembaga negara yang mempunyai pertanggungjawaban publik.
Karena menyikapi soal perbedaan hasil antara kedua audit tersebut, pihaknya akan mempertanyakan dalam rapat dengan BPK. Apakah yang menjadi dasar bagi BPK melakukan audit investigatif. Apalagi dalam audit kedua pada tahun 2017, audit dilakukan tanpa adanya terperiksa yang menjadi obyek audit.
"Kalau bahan-bahan yang digunakan sekunder bukan data primer, maka patut dipertanyakan hasil auditnya," tegas Hairul.
Sebelumnya, terdakwa Syafruddin Arsyad Temenggung menilai perkaranya terkait penerbitan Surat Keterangan Lunas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) berdasarkan audit investigasi Badan Pemeriksa Keuangan merugikan uang negara senilai Rp4,5 triliun telah menyimpang dari ketentuan standar.
"Laporan Audit Investigatif BPK 2017, tidak memenuhi standar pemeriksaan keuangan yang diatur oleh BPK sendiri, yaitu Peraturan BPK No.1 Tahun 2017, khususnya butir 21 sampai dengan 26," ujar Syafruddin, saat membacakan eksepsi di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin, 21 Mei 2018.
Syafruddin juga menilai, adanya laporan berbeda pada 25 Agustus 2017, dengan yang dilakukan 30 November 2006, bahwa menyatakan tidak ada kerugian negara. Saat itu, laporan auditor negara, menyatakan bahwa Surat Keterangan Lunas (SKL) layak diberikan kepada pemegang saham Bank Dagang Negara Indonesia.
Saat terjadinya penerbitan SKL, Syafruddin menjabat Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
"Karena pemegang saham telah menyelesaikan seluruh kewajiban yang disepakati dalam perjanjian MSAA dan perubahan–perubahannya, serta telah sesuai dengan kebijakan Pemerintah dan Instruksi Presiden No.8 Tahun 2002," ujarnya.