Gaji Pejuang Pancasila yang Tak Pancasilais

Persiapan Upacara Hari Kelahiran Pancasila
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan

VIVA – Besaran gaji dan tunjangan yang diterima Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila atau BPIP, masih menuai kontroversi. Banyak kalangan yang mempertanyakan gaji dengan nominal fantastis badan yang diisi para tokoh bangsa tersebut.

Kata Gerindra soal Penghapusan Utang Petani-Nelayan

Dewan Pengarah BPIP ini terdiri dari Ketua Dewan Pengarah, Megawati Seokarnoputri; Kemudian, anggotanya antara lain, Tri Sutrisno, Ahmad Syafii Maarif, Said Aqil Siradj, Ma'ruf Amin, Mahfud MD, Sudhamek, Andreas Anangguru Yewangoe, dan Mayjen (Purn) Wisnu Bawa Tenaya.

Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 42 tahun 2018 tentang Besaran Gaji Pejabat Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Megawati Cs akan mendapatkan hak keuangan ratusan juta rupiah. Dengan rincian, Ketua Dewan Pengarah BPIP sebesar Rp112,54 juta per bulan dan Anggota Dewan Pengarah BPIP sebesar Rp100,81 juta per bulan.

Aktivitas Retno Marsudi Usai Tak Menjadi Menlu, Isi Seminar Bicara Pancasila Pemersatu Bangsa

Gaji para tokoh bangsa yang duduk di kursi Dewan Pengarah Ideologi Pancasila ini melebihi gaji Ketua DPR, DPD, MPR, dan BPK. Bahkan, gaji mereka melebihi gaji Presiden dan Wakil Presiden. Sebagai lembaga baru, besaran gaji pimpinan BPIP ini di luar kewajaran.

"Bahkan, saya berani mengatakan, praktik kebijakan seperti itu tidak Pancasilais. Mengingat, kondisi kesenjangan rakyat yang luar biasa pada saat ini," kata Ekonom Senior INDEF, Didik J. Rachbini  kepada VIVA, Rabu 30 Mei 2018.

Tindak Pidana Ideologi Negara dalam KUHP Dinilai Harus Diatur Lebih Lanjut, Ini Alasannya

Di samping itu, menurut Didik, cara mengalokasikan gaji tersebut seperti ingin mengambil hati tokoh-tokoh yang ada di dalam BPIP, agar berpihak kepada pemerintah.

Padahal, orang-orang yang ada di dalam BPIP itu merupakan tokoh bangsa yang selama ini berjuang untuk rakyat dan bangsa, tidak pantas menerima gaji sebesar itu karena mereka bukan bekerja normal layaknya seorang profesional.          

"Jadi, tidak selayaknya menerima gaji berlebihan di luar kewajaran, tanpa kerja yang sewajarnya," ujarnya.

Pemborosan
    
Didik mengatakan, birokrasi berkedok reformasi ini telah menaikkan gaji sangat tinggi. Tetapi, kualitas pelayanan publik tetap buruk dan masih dijangkiti boros, tidak efisien, tuna produktif,  bahkan tuna kerja.        

Dalam teori, perilaku birokrasi seperti itu 'empire builders', yakni penyakit membangun birokrasi yang gemuk, tetapi tuna efisiensi.

"Lembaga-lembaga ad hoq, sudah banyak dibubarkan, tetapi pada sisi lain dibangun kembali seperti BPIP dengan gaji yang menyinggung perasaan rakyat banyak," terang Guru Besar Ilmu Ekonomi ini.

Presiden Joko WIdodo

Praktik seperti  ini, lanjutnya, dilakukan di berbagai negara. Mengalokasikan gaji, honorarium dan remunerasi yang berlebihan, sehingga menguras anggaran negara. Ia menyebut, praktik pemborosan birokrasi saat ini lebih parah dari Orde Baru.

Pada masa Orde Baru, jumlah APBN hanya sekitar Rp60 hingga Rp70 triliun, tetapi utang terkendali. Adapun saat ini, jumlah APBN tidak kurang dari Rp2.000 triliun, tetapi harus utang. "Sebabnya, tidak lain, karena praktik pemborosan di birokrasi semacam BPIP dan lembaga-lembaga negara lainnya," terang mantan Anggota DPR RI dari F-PAN ini.

"Jika praktik pemborosan seperti ini terus dilakukan, maka birokrasi akan memakan Negara - pasak memakan tiang. Memang, tidak ada hubungan langsung yang siginifikan antara gaji Rp112 juta dengan utang yang besar. Tetapi, praktik kolektif 'empire builders' seperti ini akan menguras anggaran negara secara boros dan tidak produktif," tambahnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya