KPK Tak Peduli Argumen Terdakwa BLBI
- ANTARA FOTO/Hafidz Mubarok
VIVA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak ambil pusing dengan pembelaan terdakwa Syafruddin Arsyad Temenggung terkait kasus korupsi atas penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kepada obligor BNDI, Sjamsul Nursalim.
Dalam nota keberatan atas dakwaan Jaksa atau eksepsi yang dibacakan tim kuasa hukum di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin lalu, Syafruddin berkilah persoalan SKL BLBI merupakan ranah perdata sesuai yang telah disepakati kedua belah pihak dalam Master Setlement Aqcuisition Agreement (MSAA).
Untuk itu, Syafruddin meminta Majelis memutuskan bahwa Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta tidak berwenang mengadili perkara korupsi penerbitan SKL BLBI kepada Syamsul Nursalim ini.
Menanggapi eksepsi Syafruddin, Juru Bicara KPK, Febri Diansyah menegaskan, argumentasi yang disampaikan Syafruddin sudah klasik. KPK, tegas Febri, telah berulang kali menghadapi alasan seorang terdakwa yang menyebut perkaranya masuk ranah perdata atau bersifat administratif.
Febri menegaskan, sejak awal menyelidiki kasus SKL BLBI pada 2013 hingga dilimpahkan ke pengadilan, lembaga anti-korupsi ini meyakini perkara ini mengandung unsur tindak pidana korupsi dan terdapat kerugian keuangan negara dalam jumlah besar.
"KPK sangat yakin sejak proses awal, seperti penyelidikan yang dilakukan sejak Januari 2013, kemudian penyidikan hingga penuntutan, bahwa kasus yang ditangani ini, memiliki dugaan kerugian negara yang sangat besar dan mengandung unsur tindak pidana korupsi," kata Febri.
Febri menegaskan, KPK tidak fokus pada pembuatan perjanjiannya. Lebih dari itu, KPK mengusut ada dugaan skandal penghapusan piutang Sjamsul Nursalim sehingga seolah-olah dia berada dalam kondisi sudah memenuhi seluruh kewajibannya, sampai-sampai diberikan surat keterangan lunas.
"Selain itu, seperti diuraikan di dakwaan usulan BPPN terhadap penghapus bukuan (write off) sebenarnya tidak pernah disetujui di rapat kabinet terbatas tersebut," kata Febri.
Selain mengklaim kasus ini merupakan ranah perdata, Syafruddin juga mempertanyakan mengenai audit Badan Pemeriksa Keuangan pada 2017 yang menyebut adanya kerugian keuangan negara sebesar Rp4,58 Triliun.
Mantan Kepala BPPN itu mengklaim, audit BPK tersebut inkonsisten dan menyimpang dari ketentuan dan standar yang seharusnya. Syafruddin pun membandingkan audit BPK pada 2017 dengan dua audit BPK sebelumnya pada 2002 dan 2006.
Laporan BPK tahun 2002 berpendapat bahwa ikatan perdata Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) telah final dan closing. Sementara, dalam audit tahun 2006, BPK menilai BPPN dapat menerbitkan Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada BDNI. Alasannya, karena pemegang saham BDNI yakni Sjamsul Nursalim telah memenuhi perjanjian MSAA dan sesuai dengan kebijakan pemerintah.
Terkait kerugian keuangan negara itu, Febri menuturkan, perhitungan tersebut telah dilakukan secara cermat oleh BPK saat dimintai KPK.
Febri mengatakan, penanganan kasus BLBI ini menjadi tantangan seluruh pihak dalam upaya memulihkan keuangan negara yang diderita akibat korupsi yang dilakukan terkait penerbitan SKL BLBI. "Kasus ini akan menjadi tantangan bersama bagi semua pihak sebagai upaya untuk mengembalikan kerugian negara yang sangat besar," kata Febri.
Dikonfirmasi terpisah, Ketua BPK, Moermahadi Soerja Djanegara, menganggap wajar adanya perbedaan antara ketiga laporan hasil audit BPK dalam kasus BLBI yakni laporan pada tahun 2002, 2006, dan 2016. Hal ini, kata Moermahadi bisa terjadi lantaran berbedanya tujuan penggunaan hasil audit dari ketiga laporan tersebut.
Sementara hasil audit tahun 2017, menurut Moermahadi, memang dilakukan khusus untuk melakukan perhitungan kerugian negara. "Sedangkan yang sebelum-sebelumnya pemeriksaan dengan tujuan tertentu. Pasti beda," kata Moermahadi seusai mengikuti kegiatan konsolidasi dan silaturahmi bersama sejumlah pimpinan lembaga dan kementerian di kantor KPK, Selasa malam, 22 Mei 2018.
Bertambahnya jumlah kerugian negara akibat perbuatan Syafruddin dalam penerbitan SKL BLBI, juga bisa terjadi. Menurutnya, hal ini mengingat banyaknya keterangan saksi-saksi dan bukti yang dikantongi penyidik, sehingga mampu memperkuat konstruksi perkara atas terdakwa Syafruddin. "Mungkin saja nanti ada novum, ada bukti baru pasti beda perhitungannya," kata Moermahadi. (mus)