Terorisme Kejahatan Luar Biasa, Butuh Kewenangan Khusus
- Twitter.com/@deni_jimmi
VIVA – Pengamat intelijen dan pertahanan Andi Widjajanto menilai Indonesia harus melihat aksi teror sebagai kejahatan tindak pidana serius dan luar biasa. Untuk menghadapinya, aparat penegak hukum tentu membutuhkan kewenangan khusus.
"Perkembangan organisasi sel teroris tidak normal. Ini sudah kejahatan khusus, kejahatan luar biasa. Kalau ada kejahatan khusus dan luar biasa, butuh kewenangan khusus dan kewenangan tambah," kata Andi, Rabu 16 Mei 2018.
Mantan Sekretaris Kabinet itu mengakui penambahan wewenang khusus aparat penegak hukum tentunya jangan sampai menyasar ke warga negara yang baik-baik saja. Inilah salah satu poin yang menjadi pekerjaan rumah dalam penyelesaian revisi RUU Anti Teror.
"Bagaimana kebijakan tersebut membuat anteng 250 juta penduduk, tetapi melibas 5.000 orang teroris. Tugas aparat keamanan membuat 250 juta penduduk tenang, baik-baik saja," ucapnya.
Menurutnya, peristiwa rentetan bom bunuh diri yang melibatkan satu keluarga menempatkan indonesia pada situasi khusus. Dalam peristiwa ini pelaku teror sudah tidak mempertimbangkan lagi sisi HAM dan hukum perang yang tidak melibatkan anak-anak dan perempuan.
"Sekarang kita dalam kondisi ada kejadian khusus yang tidak peduli dengan HAM. Yang perlu kita lakukan adalah memberikan kepercayaan untuk memberikan kewenangan khusus kepada aparat," ucap Andi.
Salah satu kewenangan khusus adalah memberikan wewenang untuk mendeteksi dini, kewenangan khusus lakukan penyelidikan lebih dalam, hingga pelibatan TNI dalam menanggulangi aksi teror.
Menurutnya, Revisi UU Terorisme pada dasarnya memberikan seluruh kewenangan tambahan itu. Khusus TNI bisa dilibatkan dengan dua cara, yakni TNI mengatasi ancaman terorisme dengan operasi militer selain perang yang diatur dalam Undang-Undang Nomor. 34 tahun 2004 dan TNI membantu polisi mencegah tindak pidana terorisme.
Terkait pelibatan TNI atasi ancaman terorisme, sebenarnya pernah diterapkan Indonesia saat menghadapi situasi genting. Sedikitnya ada tiga kasus yang pernah ditangani TNI dalam menjalankan operasi selain perang. Yakni pembebasan sandera Somalia, penyanderaan reporter MetroTV Mutia Hafid, dan penyanderaan yag dilakukan Abu Sayyaf di Filipina.
"Selama itu, pelibatan TNI dalam operasi selain perang tidak pernah menimbulkan masalah, apalagi menyasar kepada rakyat yang baik-baik saja," kata Andi.
Sementara itu, Direktur Imparsial, Al Araf mengingatkan, tindakan terorisme berawal dari ujaran kebencian yang dapat membuat seseorang memiliki sikap intoleransi. Semakin tinggi tingkat intoleransi seseorang maka akan menimbulkan sikap radikalisme yang berujung pada tindakan aksi terorisme.
"Terorisme merupakan hasil akhir dari radikalisme. Bermula dari hate speech yang menguat, kemudian muncul intoleransi. Selanjutnya akan menuju ke radikalisme dan berujung ke terorisme," kata Al Araf.
Sulit Dideteksi
Menurutnya, sifat radikalisme lebih cenderung sulit untuk dideteksi karena pelaku teror yang termotivasi dari sikap intoleransi dan radikal bergerak secara individu yang tidak terkait dengan jaringan teroris nasional atau internasional.
Di satu sisi, ujaran kebencian muncul sebagai akibat dari maraknya konten yang berbau SARA. Ujaran kebencian tentang intoleransi jika tidak dihentikan lambat laun akan memicu terjadinya tindakan terorisme di tengah masyarakat.
Ketua DPP Partai Nasdem Bidang Pertahanan dan Keamanan, Mayjen (Purn) Supiadin Aries Saputra, menegaskan, saat ini kondisi politik Indonesia sudah superliberal. Kebebasan warganegara seolah tanpa batas. Kondisi inilah yang diyakininya memicu ujaran kebencian.
"Politik bukan keseragaman, tetapi keadilan. Indonesia sudah superliberal, bebas berpendapat. Padahal kebebasan itu juga dibatasi kebebasan orang lain," kata Supiadin.
Anggota Komisi I DPR RI itu juga meyakini, ketidakadilan dan ketimpangan ekonomi adalah salah satu sumber atau akar lahirnya terorisme. Karena itu, penanganan terorisme harus dilakukan secara komprehensif di semua bidang. (ren)