Anak Bomber Surabaya-Sidoarjo Dipaksa Tonton Video Radikal
- ANTARA FOTO/HO/HUMAS PEMKOT-Andy Pinaria
VIVA – Pelaku bom bunuh diri di Surabaya dan Sidoarjo, Jawa Timur, diketahui menyertakan anak-anak mereka. Publik merasa heran bagaimana mungkin anak-anak dan remaja bisa diajak berbuat hal yang menyakitkan, di luar umumnya pola pikir orang seusia mereka.
Kejadian pertama di tiga gereja yang lokasinya berbeda di Surabaya pada Minggu pagi, 13 Mei 2018, dilakukan oleh enam orang, yakni pasangan suami istri Dita Oepriarto dan Puji Kuswati dengan mengajak empat anaknya. Dua usia remaja YF dan FH, kemudian dua masih di bawah umur FS dan FR. Satu keluarga itu semuanya tewas dalam aksi bom bunuh diri.
Kejadian kedua terjadi pada Minggu malam di Rusunawa Wonocolo, Taman, Sidoarjo. Bom meledak di kamar pelaku bernama Anton. Ia, istri, dan anaknya meninggal di lokasi. Dua anaknya yang lain mengalami luka dan kondisinya kini membaik. Adapun anaknya yang paling besar tidak berada di lokasi karena tinggal bersama neneknya.
Adapun pelaku bom di Mapolrestabes Surabaya pada Senin, 14 Mei 2018, dilakukan oleh pasutri Tri Murtiono (50) dan Tri Ernawati (43). Ia mengajak tiga anaknya, Muhamad Daffa Amin (19), MDS (15) dan AAP (8). Dari kejadian itu, hanya AAP yang selamat karena terpental setelah ledakan pertama. Ia kini dirawat di rumah sakit.
Ketua DPR Bambang Soesatyo saat mengunjungi anak pelaku pengeboman Polrestabes Surabaya, Senin (14/5/2018).
Kepala Kepolisian Daerah Jawa Timur, Irjen Pol Machfud Arifin, mengatakan, dari kejadian di Surabaya dan Sidoarjo, ada empat anak terduga yang selamat, yakni tiga anak dari Anton terduga di Sidoarjo dan AAP, anak dari bomber Mapolerstabes Surabaya.
"Dua anak pelaku yang di Sidoarjo sudah bisa diajak bicara, sementara anaknya yang paling besar tidak terjadi apa-apa karena memang tinggal dengan neneknya. Untuk anak kecil selamat di Polrestabes, tadi malam sudah dilakukan penanganan medis dan sekarang masih dalam pengaruh obat bius," kata Machfud di Markas Polda Jatim di Surabaya pada Selasa, 15 Mei 2018.
Berdasarkan keterangan dua anak Anton yang terluka, selama ini mereka tidak diperbolehkan oleh kedua orangtuanya untuk bersekolah di luar. Kepada tetangga dan orang luar, mereka diminta mengaku belajar dengan cara homeschooling.
"Padahal bukan homeschooling, tapi dikungkung di rumah dan didoktrin oleh orangtuanya, ditontonkan video-video radikal," ujar Machfud.
Setiap pekan, terang Machfud, mereka diajak orangtuanya untuk mengikuti semacam acara keagamaan di komunitas mereka di kawasan Kecamatan Rungkut. Nah, di kegiatan itulah terduga bomber Surabaya dan Sidoarjo biasa bertemu.
"Di pengajian itu mereka bertemu. Satu perguruan istilahnya," katanya. (ase)