Yusril Sebut Dakwaan Jaksa atas Syafruddin Arsyad Prematur
- Bayu Nugraha
VIVA – Penasihat hukum Syafruddin Arsyad Temenggung, Yusril Ihza Mahendra, menyebut dakwaan yang dibacakan oleh jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam sidang perdana kliennya terkesan dipaksakan. Bahkan, ia menilai surat dakwaan jaksa KPK prematur.
Menurut Yusril, dakwaan tersebut sebenarnya hanya menyalin apa yang tertulis dalam Master Settlement and Acquisition Agreement, di mana dalam MSAA tersebut diatur secara detail perjanjian antara kedua pihak, antara pemerintah dan para debitur BLBI, serta kemudian mekanisme penyelesaiannya dan semuanya sudah diatur di sana.
"Oleh karena diatur dalam satu perjanjian dan perjanjian itu sampai hari ini masih berlaku dan di dalamnya itu ada klausa-klausa yang menyatakan bahwa apabila para pihak itu tak puas terhadap apa yang diputuskan, maka mereka dapat mengajukan komplain dan mengajukan gugatan ke pengadilan," kata Yusril usai persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin, 14 Mei 2018.
Yusril juga menyebut keganjilan lain dari perkara yang dibawa jaksa KPK ini, karena jika mengacu kepada isi MSSA tersebut, seharusnya perkara ini tidak cukup bukti untuk bisa menjerat kliennya.
"Sudah 19 tahun lamanya MSAA ini ada dan sudah ditutup dan dianggap sudah selesai semuanya. Tidak pernah ada gugatan dari pihak pemerintah terhadap kasus ini, jadi kasus ini dianggap sudah selesai dalam perdata, tiba-tiba kalau sekarang KPK menganggap bahwa ada unsur tindak pidana korupsi dan itu didasarkan pada audit BPK yang baru atas perintah KPK sendiri," kata Yusril.
Padahal lanjut Yusril, sebelumnya keputusan yang diambil oleh Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) pada 2004 sudah berdasarkan hasil audit dari BPK pada waktu itu yang menyatakan bahwa kasus BDNI itu sudah selesai seluruhnya dan bisa diterbitkan Surat Keterangan Lunas.
"Bahwa kemudian tahun 2017 dilakukan audit lagi, audit investigatif atas permintaan KPK dan hasilnya lain itu jadi tanda tanya juga dari kami. Karena hasil audit BPK RI yang sudah ada pada tahun 2006 itu dan telah melahirkan pada suatu kebijakan itu tidak bisa dianulir oleh kebijakan BPK yang baru," kata Yusril.
Apalagi kliennya kata Yusril, bukan pihak atau pun orang yang bertanggung jawab terhadap penjualan aset eks PT Dipasena.
"Oke hasil audit BPK itu surut ke belakang, itu yang tidak mungkin dilakukan dalam hukum, ketika diketahui bahwa sebenarnya Pak Syafruddin tidak menjual aset itu, itu kan dijual oleh PT PPA pada masa 2007, pada waktu itu sudah di bawah Presiden yang baru SBY, menteri keuangannya juga sudah berubah dan tidak lagi menjadi ketua BPPN, persoalan ini perdata atau pidana?" kata Yusril.
Yusril mengakui, selain persidangan di Pengadilan Tipikor, kliennya juga telah tengah menjalani persidangan perkara perdata di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Syafruddin menggugat menteri keuangan dan PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA).
Syafruddin menggugat keduanya karena dianggap tidak memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum sehingga Syafruddin ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK.
Dalam gugatan tanggal 3 April 2018 itu, Syafruddin menyatakan tetap berpegang pada hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2006 bahwa Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada Sjamsul Nursalim, pemilik BDNI, layak diberikan karena pemegang saham telah menyelesaikan seluruh kewajibannya.
Kemenkeu dalam jawaban gugatan menyatakan bahwa dalam hasil Pemeriksaan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham BPK RI No. 34G/XII/11/2006 tanggal 30 November 2006, ditegaskan bahwa BPK berpendapat SKL yang diberikan ke Sjamsul Nursalim selaku Pemegang Saham Pengendali PT BDNI layak untuk diberikan.
Karena PSP telah menyelesaikan semua kewajiban yang disepakati dalam perjanjian MSAA dan perubahannya, serta sesuai dengan kebijakan pemerintah dan Instruksi Presiden No 8 Tahun 2002.
Error in Persona
Sementara itu, Syafruddin ditanyai wartawan menilai bahwa dakwaan yang disampaikan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) salah alamat alias error in persona.
Menurut Syafruddin, kebijakannya dalam menerbitkan SKL ketika menjabat kepala BPPN kepada obligor BDNI cuma sebatas menjalankan keputusan KKSK.
Selain itu, Sjamsul Nursalim selaku shareholder BDNI sudah melunasi kewajibannya terhadap BPPN sebesar Rp4,8 triliun.
"Yang jelas dari dakwaan tadi itu jelas error in persona, yang menjual bukan saya dan juga saya mengikuti seluruh aturan," kata Syafruddin di Pengadilan Tipikor Jakarta.
Untuk diketahui, dalam dakwaan jaksa KPK, Syafruddin dianggap telah merugikan keuangan negara senilai Rp4,58 triliun lantaran menerbitkan SKL BLBI terhadap Sjamsul Nursalim. Padahal, kata jaksa, Sjamsul Nursalim belum memenuhi kewajiban untuk mendapatkan SKL.