Eks Mendiknas Ingatkan Pemerintah Tak Buat UN Program Sesaat
- VIVA/Nur Faishal
VIVA – Mohammad Nuh ogah menanggapi ketika dimintai pendapat soal peristiwa kebocoran soal Ujian Nasional Berbasis Komputer atau UNBK di salah satu SMP Negeri di Surabaya beberapa waktu lalu. Menteri Pendidikan Nasional di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu mengaku tahu betul betapa rumit pelaksanaan Ujian Nasional.
"Soal UN, kebocoran, ojo, ojo (tidak, tidak), saya sudah pensiun," kata Nuh seusai peresmian Gedung Baiturrohmah di Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya atau Unusa di Surabaya, Jawa Timur, pada Rabu, 2 Mei 2018.
"Kalau terkait pendidikan secara umum, dengan senang hati (mau bicara); tapi kalau soal implementasi teknikal itu, saya pernah merasakan bagaimana ketika waktunya (Ujian Nasional), taruhlah diberi amanah soal itu, diseneni wong akeh (dimarahi orang banyak). Ini enggak nyaman," ujar mantan rektor Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya atau ITS itu.
Nuh menjelaskan, secara umum masa depan bangsa ditentukan oleh kualitas sumber daya manusianya. Baik atau buruk sumber daya manusia ditentukan oleh kualitas layanan kesehatan dan pendidikan. Kesehatan ibarat perangkat keras alias hardware, sementara pendidikan serupa peranti lunak atau software.
Karakteristik pendidikan, katanya, adalah lintas pemerintahan dan generasi. Artinya, berbagai persoalan pendidikan tak mungkin dibereskan hanya dalam satu periode pemerintahan melainkan lintas pemerintahan dan butuh waktu panjang.
“Karena itu saya berpesan, jangan jadikan program pendidikan sebagai program pemerintahan saat itu atau saat ini. Tapi jadikan program nasional yang lintas pemerintahan dan lintas generasi," katanya.
Kepentingan politik, menurut guru besar ITS itu, diharapkan tidak menunggangi program pendidikan. "Please, don't touch politically on education (jangan ada intervensi politik dalam pendidikan). Ini program jangkan panjang. Sopo ae sing dadi Presiden, sopo ae sing dadi menteri (siapa saja presiden dan menterinya), jangan disentuh-sentuh (kepentingan politik), teruskan (program pendidikan nasional)," katanya.
Salah satu petinggi NU itu lantas menjabarkan soal karakteristik lintas generasi pendidikan. Misalnya, pemerintah mencanangkan wajib belajar sembilan tahun dalam jenjang sekolah dasar sampai sekolah menengah pertama, sementara periode pemerintahan cuma lima tahun. Tentu saja satu periode pemerintahan tak dapat menyelesaikan program itu, bahkan sekadar untuk sembilan tahun.
Masalahnya, kata Nuh, selama ini rezim pemerintah berganti setiap lima-sepuluh tahun. Bahkan, “Setiap pemerintahan punya selera masing-masing."
Esensi program pendidikan hanya dua yang utama, yakni akses dan kualitas. Soal akses, bukan hanya wajib belajar dua belas tahun, tapi bagaimana generasi bangsa bisa mencecap pendidikan sampai perguruan tinggi. "Dulu yang semangatnya sekolah gratis, saiki yo opo ceritane (sekarang bagaimana kabarnya). Ini komitmen dan enggak ada yang mengendalikan lagi," ujarnya.
Kedua adalah kualitas dengan rumus utama ialah guru, kurikulum, dan fasilitas. Tiga hal itulah yang bisa menentukan kualitas pendidikan. "Selamat ber-Hardiknas," kata Ketua Yayasan Rumah Sakit Islam Surabaya itu.
Komputer tablet mahasiswa
Nuh, selepas tak menjabat menteri pendidikan, sibuk sebagai Ketua Yayasan Rumah Sakit Islam Surabaya atau Yarsis. Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya atau Unusa salah satu yang diurus yayasan itu.
Unusa terbilang universitas baru, dibuka pada 2013. Tetapi embrionya sudah lama, yakni berupa Sekolah Perawat Kesehatan atau SPK Yarsis pada 1979. Pada 1985, berdiri Akademi Keperawatan, kemudian SPK berubah menjasi Akademi Kebidanan pada 1997. Dua institusi itu lalu bergabung jadi Stikes Yarsis pada 2006 dan lambat laun jadi Unusa.
Kendati baru, Unusa tak butuh waktu lama merangkak. Berjalan sejenak ia lantas berlari. Infrastruktur dan fasilitas pelayanan akademik coba dikebut. Keterbatasan lahan dan gedung tak membikin ciut semangat. Nuh mengatakan, keterbatasan secara fisik bisa dikompensasi dengan sesuatu yang ia sebut virtual space.
"Kita ingin menutupi keterbatasan space fisik dengan mengimplementasikan space virtual," kata Nuh.
Nuh lantas memberi salah satu contoh implementasi dari perluasan virtual space, yakni penggunaan komputer tablet atau smartphone secara gratis bagi mahasiswa baru untuk kegiatan kuliah mereka. Program dimulai tahun 2017 meski belum semua mahasiswa merasakannya karena keterbatasan perangkat. “Nanti tahun ajaran baru, semua mahasiswa baru kita beri tab (komputer tablet), dan itu free," katanya.
Tab itu dirancang dan dikendalikan dengan perangkat keamanan tertentu oleh pihak Kampus sehingga tidak bisa disalahgunakan oleh mahasiswa, kendati dibawa ke luar kampus. Tablet canggih itu hanya bisa diaplikasikan untuk keperluan studi. "Tab ini antikenakalan," ujar Nuh.
Contoh lain ialah Unusa Career Center atau UCC, satu di antara tujuh divisi yang terintegrasi di Gedung Baiturrohmah. Nuh menjelaskan, UCC tidak hanya berfungsi menganalisis, mentransfer pengetahuan dan melatih mahasiswa dalam menyongsong dunia kerja. Tetapi juga memonitor lulusan ketika sudah berada di posisi kerja tertentu.
Dengan demikian, evaluasi dan pengembangan pengetahuan berjalan secara berkelanjutan. "Kita minta masukan dari para pengguna (pemberi kerja) alumni itu. Kenapa bisa begitu? Karena kita tahu, bahwa di perusahaan A ada alumni kita, karena itu kita bisa minta masukan," tandas Nuh.
Kualitas dosen menjadi salah satu program yang diutamakan. Itu syarat agar lulusan Unusa juga berkualitas. Di luar itu, jejaring juga dikuatkan sebagai mitra pengembangan. Nah, soal jejaring ini Nuh selektif betul. "Kita tidak mau ada orang bawa bantuan ke sini ada tendensi. Karena kita mau menjaga marwah agar lulusan Unusa terhormat," ujarnya.