Staf Presiden Usul Bentuk Tim Usut Tenaga Kerja Asing

Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Ahmad Subaidi

VIVA – Investigasi Ombudsman Republik Indonesia menemukan banyaknya persoalan tenaga kerja asing (TKA) di Indonesia. Kebanyakan tenaga kerja asing di Tanah Air adalah unskill alias buruh kasar. Mereka tersebar di 10 provinsi, dan tidak banyak diketahui pemerintah pusat.

Sudah Ditunjuk Jadi Staf Khusus Presiden, Kini Grace Natalie Jadi Komisaris MIND ID

Kepala Staf Presiden Moeldoko mengaku sudah mengetahui hasil investigasi dari Ombudsman tersebut. Ia mengusulkan semua pihak bekerja sama dengan pemerintah mengusut masalah tenaga kerja asing di Indonesia.

"Saya sangat setuju kalau itu kita tangani bersama. Ayo kita sama-sama turun ke lapangan, kita buat tim terhadap pelanggaran-pelanggaran atas Perpres 20 tahun 2018 (tentang TKA), ayo kita tangani sama-sama," ujar Moeldoko, di kantornya, Jakarta, Jumat, 27 April 2018.

Jokowi Prihatin Sekaligus Berduka atas Insiden yang Menimpa Marhan Harahap di Sumut

Menurutnya, jika dilakukan bersama-sama, maka masalah tenaga kerja asing di Indonesia dapat lebih mudah. Ketimbang hanya berdebat dan saling menyalahkan.

"Jadi jangan nanti ini ngomong ini, ini ngomong ini, jadi justru tidak produktif. Tapi kita perlu pikirkan bersama bagaimana sih ini agar tertangani dengan baik," katanya. 

Diaz Hendropriyono: Perlu Ada Solusi Inovatif untuk Mengatasi Sampah Plastik

Moeldoko mengatakan, pemerintah menghormati apa yang telah dihasilkan oleh Ombudsman. Maka menurutnya, dengan turun bersama ke lapangan, kekhawatiran terhadap TKA bisa ditindak dengan baik. 

Ilustrasi pekerja asing ilegal.

Pekerja asing ilegal

Apalagi persoalan pelanggaran atau TKA ilegal, pemerintah juga tidak akan memberikan toleransi. 

"Intinya ketegasan. Kita tidak boleh memberikan toleransi atas pelanggaran. Karena kita juga tidak ditoleransi saat kita berada di luar negeri," kata Moeldoko.

Bahwa pemerintah sudah memiliki Tim Pengawasan Orang Asing (Tim Pora) namun oleh Ombudsman dianggap tidak maksimal, maka kata Moeldoko, dengan tim bersama ini bisa mengoptimalkan pengawasan tenaga kerja asing.

"Saya kira tadi. Kita optimalkan. Kalau ini menjaid isu yang perlu disikapi lebih meningkat lagi," katanya. 

Sebelumnya, Ombudsman merilis hasil investigasi mengenai tenaga kerja asing di Indonesia. Investigasi itu dilakukan atas prakarsa sendiri mengenai problematika penyelenggaraan pelayanan publik dalam rangka penempatan dan pengawasan tenaga kerja asing di Indonesia.

Dari hasil temuannya, sebanyak 10 provinsi dengan penyebaran tenaga kerja asing terbanyak. "Di Sulawesi ada dua yaitu Sulteng dan Sultra karena itu fokus pembangunan smelter. Lalu ada di Papua Barat, Kaltim, Sumut, Kepri, Jakarta, Banten, Jabar, Jatim," ujar Komisioner Ombudsman Laode Ida di gedung ORI, Jalan Rasuna Said, Jakarta Selatan, Kamis, 26 April 2018.

Rata-rata, kata Laode, semua tenaga kerja asing itu bekerja di smelter-smelter tambang. Namun, ada juga yang bekerja di bidang lain, namun arus penyebarannya hanya sedikit. Bahkan, dari hasil investigasi Ombudsman, rata-rata mereka bekerja sebagai pekerja kasar lapangan saja. Padahal, pekerjaan tersebut menurutnya bisa dilakukan oleh tenaga kerja Indonesia.

"Hampir 90 persen pekerja lapangan seperti sopir. Jadi hanya bohongan harus memiliki keterampilan dan pengetahuan. Masa sih tidak ada warga negara Indonesia bisa jadi sopir," ujarnya.

Dalam investigasi ini, Ombudsman juga menemukan permasalahan dalam penempatan tenaga kerja asing yakni belum terintegrasinya data antara Kementerian/Lembaga Pusat dengan Pemerintah Daerah mengenai jumlah, persebaran dan alur keluar masuknya tenaga kerja asing di Indonesia.

Dari sisi pengawasan, ditemukan permasalahan belum maksimalnya pengawasan tenaga kerja asing di Indonesia oleh Tim Pengawasan Orang Asing (Tim Pora) melalui penegakan hukum baik berupa sanksi administrasi kepada perusahaan yang melakukan pelanggaran, penyelidikan, dan penyidikan tindak pidana serta pemulangan terhadap tenaga kerja asing.

"Beberapa faktor yang menyebabkan belum maksimalnya pengawasan oleh Tim Pora antara lain ketidaktegasan Tim Pora terhadap pelanggaran di lapangan, keterbatasan jumlah SDM pengawas, keterbatasan anggaran dan lemahnya koordinasi antarinstansi baik pusat maupun daerah," tuturnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya