Rohingya Lari ke Aceh karena Tak Sanggup Lawan Rezim Militer
- Dokumentasi ACT
VIVA – Sebanyak 79 (sebelumnya disebut 76) warga muslim etnis Rohingya terdampar di perairan Aceh, tepatnya di Pantai Kuala Raja, Kabupaten Bireuen, Aceh, pada Jumat, 20 April 2018.
Seorang di antara mereka, Muhammad Rifai (42 tahun) menceritakan kronologi pelarian mereka hingga ke Aceh. Di negara mereka, Myanmar, sedang terjadi peperangan sehingga banyak warga yang mengungsi ke berbagai negara.
“Banyak saudara kami yang lari mengungsi ke negara lain. Membuat kami harus pergi, karena tidak mungkin melawan rezim militer (Myanmar) yang menggunakan senjata," kata Muhammad.
Ia mengaku tujuan utama mereka memang datang ke Aceh, meski cuma dengan sebuah perahu. Mereka terombang-ambing selama delapan hari di atas perahu dari Myanmar ke Aceh. Selama itu pula mereka hanya makan ikan.
Pemerintah Aceh berjanji memberikan bantuan dan tempat tinggal sementara untuk menampung pengungsi muslim Rohingya yang terdampar itu. Langkah selanjutnya menunggu hasil koordinasi dengan semua pihak terkait.
“Ini, kan, alasan kemanusiaan. Pemerintah Aceh akan memberikan bantuan. Kita akan beri mereka tempat tinggal. Bagaimana pun mereka juga manusia yang membutuhkan pertolongan,” kata Alhudri, Kepala Dinas Sosial Aceh.
Untuk sementara, pengungsi Rohingya itu ditempatkan di Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) di lokasi setempat. Belum diketahui sampai kapan mereka ditempatkan di sana.
Ditemukan nelayan
Para pengungsi etnis Rohingya itu terdiri 51 laki-laki dan 28 perempuan, sebagian di antaranya anak-anak. Mereka menumpang satu perahu kayu dari Myanmar. Ditemukan oleh nelayan setempat pada pukul 14.00 WIB, Jumat, 20 April. Mereka kemudian digiring ke daratan untuk diselamatkan.
Saat diperiksa kesehatannya, lima orang pengungsi Rohingya mengalami sakit, tiga di antaranya laki-laki dan dua orang perempuan. "Ini masih kita periksa kesehatannya, mereka sudah diberikan infus di lokasi," kata Hidayat, koordinator Aksi Cepat Tanggap (ACT) Kabupaten Bireuen. (mus)