Ubah Aturan Cambuk, Gubernur Aceh Disebut Mirip Ahok
VIVA – Sekitar 500 massa yang tergabung dalam berbagai lintas organisasi masyarakat, mendesak Gubernur Aceh Irwandi Yusuf, untuk mencabut Peraturan Gubernur Nomor 5 Tahun 2018 tentang pelaksanaan hukum cambuk di dalam lembaga pemasyarakatan.
Mereka melakukan aksi di depan kantor Gubernur Aceh, Kamis, 19 April 2018.
Menurut koordinator aksi, Khairul Rizal, jika Irwandi Yusuf tidak mencabut peraturan tersebut, massa terus mengepung kantor Gubernur Aceh.
Bahkan, lanjut Khairul, kebijakan tersebut merusak tatanan hukum syariat Islam. Di mana, qanun tentang hukum jinayah sudah dijelaskan bahwa hukuman cambuk dilaksanakan di depan umum, bukan di penjara.
"Ini peraturan yang aneh, jika ini ditetapkan ini sama saja Gubernur Irwandi Yusuf dengan Ahok dan Sukmawati, Irwandi jelas telah mempreteli Qanun yang telah disepakati," kata Khairul.
Ia menilai, Pergub Nomor 5 Tahun 2018, bisa menghancurkan dan menghilangkan jejak Aceh, sebagai daerah yang menerapkan hukuman cambuk. Sehingga ke depan di khawatirkan akan hilang dan tidak diterapkan.
"Jika di lapas tidak semua orang bisa menyaksikan dan terbatas. Ini sama saja penerapannya secara tertutup, kami menilai kebijakan ini tidak sesuai cita-cita penerapan syariat islam secara kaffah," katanya.
Sementara itu, Ketua Front Pembela Islam Aceh, Tengku Muslim At-tahiry mengatakan, Gubernur Aceh seharusnya paham dengan penerapan Syariat Islam. Bukan malah mengikisnya dengan peraturan yang kontroversial, apalagi dikaitkan dengan Hak Asasi Manusia dan iklim investasi.
Ia berpendapat, kebijakan itu menimbulkan gejolak di tengah masyarakat Aceh. Sehingga, jika itu terapkan, pelanggar syariat Islam tidak akan takut dicambuk karena tidak ada yang menyaksikan. Dan tidak menimbulkan efek jera.
Data yang dihimpun VIVA, kebijakan ini juga di tolak di berbagai daerah di Aceh. Adapun daerah yang menolak kebijakan hukum cambuk di dalam lapas ialah Kota Langsa, Aceh Utara, Aceh Besar dan Kota Lhokseumawe.
Kepala Dinas Syariat Islam Aceh, Munawar tetap bersikukuh bahwa Pergub itu tidak bertentangan dengan Qanun Nomor 7 Tahun 2013 tentang hukum jinayah. Menurutnya, di dalam qanun itu ada beberapa hal yang seharusnya tidak diperbolehkan, tetapi justru terjadi.
Misalnya, kata dia, pada pasal 262 ayat 2 yang dalam isinya disebutkan bahwa hukuman cambuk tidak boleh dihadiri oleh anak-anak di bawah umur 18 Tahun. Kata dia, aturan tersebut selama ini sering dilanggar.
"Jadi pergub tidak untuk menghilangkan substansi dari Qanun, tapi justru memperkuat aturan seperti yang tertera dalam qanun," sebutnya.
Aksi yang diikuti oleh puluhan ormas dan organisasi mahasiswa itu sempat ricuh. Kericuhan terjadi saat mahasiswa ingin mendekati Asisten Gubernur dan Kepala Dinas Syariat Islam yang saat itu menjumpai massa aksi.
Baca: Diprotes Dunia, Kini Hukum Cambuk di Aceh Tertutup
Namun, aksi mereka mendapat penolakan dari massa aksi lainnya, sehingga terjadi keributan diantara massa aksi, dan satu peserta aksi diamankan polisi.