Pembuatan KTP Penghayat Kepercayaan Dimulai Usai Pilkada

Ilustrasi KTP
Sumber :
  • VIVA.co.id/Nadlir

VIVA – Pemerintah akan melaksanakan sepenuhnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait aliran kepercayaan yang harus masuk ke e-KTP. Bagi masyarakat yang memiliki dan menganut kepercayaan, akan didata terlebih dahulu.

Anggota DPR Agun Gunandjar Diperiksa KPK untuk Tersangka Baru Kasus Korupsi e-KTP

Menteri Agama Lukman Hakim menjelaskan, pihaknya akan melakukan pendataan terlebih dahulu terhadap para penganut kepercayaan ini.

"Jadi semata-mata untuk efisiensi, maka KTP yang ada sekarang ini tetap berlaku, hanya bagi mereka penganut kepercayaan, Kemendagri akan membuat KTP sendiri bagi mereka. Tentu jumlahnya tidak sebanyak KTP yang ada sekarang," kata Lukman Hakim, usai rapat kabinet terbatas, di Kantor Kepresidenan, Jakarta, Rabu 4 April 2018.

Pentingnya Keberlanjutan Pengelolaan Penghayat Kepercayaan di Indonesia

Namun penggunaan KTP untuk penganut kepercayaan, tidak dikeluarkan saat ini. Tetapi untuk menghindari masalah, maka dikeluarkan setelah perhelatan pilkada serentak 2018 nanti.

"Setelah pilkada selesai harapannya sudah bisa dimulai, karena masih memerlukan waktu satu dua bulan ke depan mengupdate jumlah dan keberadaan mereka di seluruh wilayah," jelas Lukman.

Miryam S Haryani Ternyata Sudah Dicegah ke Luar Negeri Sejak Juli Terkait Kasus Korupsi E-KTP

Sementara itu, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengatakan pihaknya sudah bertemu dan berdiskusi dengan enam agama yang ada di Indonesia. Termasuk penganut aliran kepercayaan, yang dalam catatan Kemendagri ada sekitar 138 ribu lebih.

Aliran kepercayaan, lanjut Tjahjo, ada juga yang kumpulan dari agama-agama. Bagi yang tetap menginginkan identitas agama masing-masing, maka menurutnya itu tidak ada masalah.
 
"Tapi kan ada yang enggak mau, kami bukan Islam, Hindu, Kristen, silahkan ditulis Ketuhanan Yang Maha Esa. Fisiknya enggak berubah tapi hanya itu aja," katanya.

Pemerintah memberi keleluasaan, apakah kolom kepercayaan itu akan diisi atau memilih kolom agama saja. Namun kalau dua-duanya, pihaknya juga mengakomodir.

"Ada yang mau dikosongin juga boleh, mau disisi juga boleh. Tapi Kuningan (Jawa Barat) kan enggak mau yang Sunda Wiwitan. Enggak boleh kalau enggak disebut agama. Makanya dia ajukan ke MK. MK mengatakan harus dicantumkan apapun keyakinan ya. Itu aja. Kita setuju," jelas Tjahjo.

Sebagaimana diketahui, Mahkamah Konstitusi telah mengabulkan untuk seluruhnya permohonan uji materi pasal 61 Ayat (1) dan (2), serta pasal 64 ayat (1) dan (5) UU No 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan junto UU No 24 Tahun 2013 tentang UU Adminduk, yang mengatur pengisian kolom agama pada KK dan KTP.

Para pemohon yang terdiri dari para penghayat kepercayaan, mengajukan permohonan UU tentang Administrasi Kependudukan ke MK. Uji materi ini diajukan, karena selama ini, penghayat kepercayaan merasa didiskriminasikan oleh pemerintah dalam KTP dan KK.

Dalam pertimbangannya, Ketua MK Arief Hidayat menyatakan gugatan warga penghayat kepercayaan beralasan menurut hukum. Dan, akibat adanya perbedaan penganut agama yang diakui dan penghayat kepercayaan di KTP, membuat warga mendapatkan pelayanan berbeda di fasilitas publik.

Dengan tidak dipenuhinya alasan pembatasan hak sebagaimana termaktub dalam Pasal 28 ayat (2) UUD 1945, maka pembatasan atas dasar keyakinan yang berimplikasi pada timbulnya perlakukan berbeda antar warga negara merupakan tindakan diskriminatif.

Atas dasar itu, Arief berpendapat pasal 61 ayat 1 dan pasal 64 ayat 1 UU Administrasi bertentangan dengan UUD 1945. Pasal tersebut juga dianggap tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

"Menyatakan kata 'agama' dalam Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) Undang-undang Nomor 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 24/2013 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 232 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5475) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak termasuk kepercayaan," kata Arief Hidayat di Gedung MK Jakarta, Selasa 7 November 2017.

Atas dasar putusan MK tersebut, status penganut kepercayaan dapat dicantumkan dalam kolom agama di KK dan KTP. Meskipun untuk penulisan di KTP dan KK, MK mengatakan tidak perlu diperinci.

Juru Bicara KPK Tessa Mahardhika di KPK

Anggota DPR Agun Gunandjar Diperiksa untuk Tersangka Baru Kasus e-KTP, Ini Kata KPK

Anggota DPR RI, Agun Gunandjar mengaku diperiksa menjadi saksi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait dengan dua tersangka baru dalam kasus korupsi e-KTP. Namun.

img_title
VIVA.co.id
19 November 2024