ICW Catat Tiga Cara Rampok Keuangan Negara Saat Pilkada
- REUTERS/Thomas White
VIVA – Keuangan negara dirampok oleh para calon kepala daerah (Cakada), dalam pilkada 2018. Terutama dilakukan oleh para inchumbent. Setidaknya, dalam catatan Indonesia Coruption Watch (ICW), ada tiga cara pengerukan itu dilakukan.
Pertama, mempolitisasi keuangan negara, seperti hibah dan bansos. Meski tidak dikorupsi, tapi digunakan untuk pencitraan para calon inchumnent. Kedua, meminta sumbangan dari pihak lain, terutama dari pengusaha, dengan perjanjian, akan diberikan proyek jika calon yang di usung memenangkan kontestasi. Ketiga, secara terang-terangan mengkorupsi keuangan negara, dengan banyaknya para calon kepala daerah yang terjerat KPK beberapa hari terakhir.
"Bukan hanya pemilu, tapi sampai Pilkades, ada juga politik uang. Bahkan di luar (negeri) pun ada (korupsi). Kalau di Banten, berdasarkan temuan ICW, itu kan maraknya sembako dan uang tunai," kata Almas, peneliti dari ICW, dalam sebuah diskusi di Kota Serang, Banten, Rabu 4 April 2018.
Penyebab orang melakukan korupsi, salah satunya dikarenakan biaya kampanye yang begitu mahal. Seperti yang dikatakan oleh Leo Agustino, dosen politik dari Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta) Banten.
Leo menerangkan kalau, pola korupsi sebelum era reformasi, penguasa di Jakarta menggunakan strong man, istilahnya, yakni orang-orang kuat di daerah.
Strong man digunakan untuk mengeruk keuangan daerah. Lalu di setorkan ke pemerintahan di Jakarta. Sehingga ini lah yang menjadikan politik dinasti menjadi permisif di daerah.
Untuk memenangkan kontestasi pilkada di daerah, setidaknya setiap calon harus menyiapkan dana sekitar Rp10- Rp50 miliar. Bahkan menurut Leo, ada yang sampai Rp100 miliar. Namun, keuangan para calon tak sampai sebegitu besarnya.
Investasi Cukong
Pria berkacamata ini menjelaskan bahwa realita politik di Indonesia, masih mengenal istilah cukong atau petarung uang. Cukong ini menginvestasikan uangnya, bisa ke salah satu calon, atau ke semua calon, untuk dana kampanye.
Lalu setelah menang, maka sebagai timbal baliknya, cukong itu akan mendapatkan pekerjaan untuk mengganti biaya yang telah dikeluarkan.
"Saat era reformasi, pusat tidak ada, maka tidak tidak ada setoran lagi ke atas, maka itu menjadi pundi-pundi di daerah," kata Leo Agustino, ditempat yang sama.
Bawaslu sebagai wasit pemilu, yang diberi kewenangan menangani pelanggaran politik, bentuk pelanggaran yang dilakukan oleh inchumbent biasanya melakukan mutasi jabatan, untuk kepentingan salah satu calon. Hal ini bisa terjadi secara Terstruktur, Sistematis dan Massif (TSM).
"Penggunaan uang yang besar oleh calon, bisa mempengaruhi pemenangan pasangan calon. Ada juga masalah bantuan sosial, apakah itu menguntungkan atau merugikan," kata Didih M Sudih, Ketua Bawaslu Banten. (ren)