Puisi Sukmawati Dikecam, Guruh Membela Sang Kakak
- VIVA / Rintan Puspitasari
VIVA – Adik kandung Sukmawati, Guruh Soekarnoputra, turut menyikapi terkait polemik puisi sang kakak, yang dinilai menghina Islam.
Dalam puisinya, Sukmawati menyinggung suara kidung ibu Indonesia lebih merdu dari alunan azan dan soal cadar.
"Ya saya melihat terjadi reaksi-reaksi gitu. Itukan akhirnya sangat relatif tergantung dari persepsi kita. Ya persepsi orang bermacam-macam," kata Guruh, di Istana Negara, Jakarta, Selasa 3 April 2018.
Guruh mengaku, ia bisa memahami isi dan maksud dari puisi Sukmawati tersebut. Guruh mengatakan, puisi itu bukan untuk menyinggung syariat Islam. "Artinya bukan untuk SARA dan sebagainya. Bukan sesuatu yang bagaimana," kata Guruh.
Meski begitu, dengan reaksi publik atas puisi itu, Guruh meminta semua pihak untuk melihatnya. "Berpikir dan berbuat bijaksana dalam segala hal," ujarnya meminta.
Guruh sendiri mengaku sudah bertemu dengan kakaknya, beberapa waktu lalu. Tapi sama sekali tidak menyinggung masalah puisi. "Saya ketemu Mba Sukma. Karena kemarin juga suami dari Mbak Rahmawati juga meninggal," kata dia.
Sebelumnya, Sukmawati dalam klarifikasinya membantah ada muatan SARA dalam puisi 'Ibu Indonesia' yang dia bacakan di Indonesia Fashion Week 2018. Ia mengatakan, bahwa bait yang dia sampaikan merupakan realita yang terjadi di Indonesia, bukan karangan.
"Saya budayawati, saya menyelami bagaimana pikiran dari rakyat di beberapa daerah yang memang tidak mengerti syariat Islam seperti di Indonesia Timur, di Bali dan daerah lain," kata Sukmawati dalam klarifikasi yang dibacakan di 'Apa Kabar Indonesia Pagi' tvOne, Selasa, 3 April 2018.
Sukmawati juga berdalih, bait dalam puisinya yang menyinggung kidung Ibu Indonesia lebih merdu dari alunan azan, merupakan sebuah ekspresi kejujuran dari apa yang dia alami sendiri.
"Ya boleh aja dong. Enggak selalu orang yang mengalunkan azan itu suaranya merdu. Itu suatu kenyataan. Ini kan seni suara ya. Dan kebetulan yang menempel di kuping saya adalah alunan ibu-ibu bersenandung, itu kok merdu. Itu kan suatu opini saya sebagai budayawati," terang Sukma.
"Jadi ya silakan orang-orang yang melakukan tugas untuk berazan pilihlah yang suaranya merdu, enak didengar. Sebagai panggilan waktu untuk salat. Kalau tidak ada, Akhirnya di kuping kita kan terdengar yang tidak merdu.” (mus)