Korupsi Massal Bukti Legislatif di Kota Malang Sakit
- VIVA/ Lucky Aditya.
VIVA - Korupsi pembahasan APBD-Perubahan Pemerintah Kota Malang tahun 2015 telah menyeret tiga tersangka awal yakni, Arief Wicaksono, mantan ketua DPRD Kota Malang; Jarot Edy Sulistyono, Kepala Dinas Pekerjaan Umum Perumahan dan Pengawasan Bangunan Kota Malang pada tahun 2015; dan Hendrawan Mahruszaman, komisaris PT ENK sebagai jembatan di Kedungkandang.
Arief Wicaksono disangka menerima uang suap sebesar Rp700 juta dari Jarot Edy Sulistyono dalam pembahasan APBD Perubahan Kota Malang tahun 2015.
Berdasarkan audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Jawa Timur, proyek pembangunan jembatan di Kedungkandang telah merugikan negara sebesar Rp9,7 miliar. Arief disangka menerima uang suap sebesar Rp250 juta dari Hendrawan Mahruszaman.
Setelah itu, KPK kembali menetapkan 18 anggota DPRD Kota Malang sebagai tersangka karena diduga menerima aliran dana suap. Serta Wali Kota nonaktif Moch Anton yang menjadi tersangka, karena diduga memberi janji atau hadiah.
Total saat ini 19 anggota DPRD Kota Malang menjadi tersangka. Dua lainnya dari pemerintah Kota Malang dan seorang lagi merupakan pihak swasta. Kasus ini telah menyeret 22 tersangka.
"Korupsi jemaah yang dilakukan legislatif sudah menjadi bukti DPRD Kota Malang 'sakit'. Partai politik juga sakit dan ini sudah parah penyakitnya. Tapi yang sakit itu individunya bukan lembaganya," ujar Pengamat Hukum Tata Negara dari Universitas Widyagama Malang, Anwar Cengkeng, Selasa, 27 Maret 2018.
Dari jumlah total 22 tersangka, ada dua nama calon Wali Kota Malang. Mereka, Ya'qud Ananda Gudban, calon wali kota nomor urut satu. Dan Moch Anton calon wali kota nomor urut dua.
Pengamat politik Universitas Brawijaya Malang, Wawan Sobari, mengatakan partai politik atau pengusung calon kepala daerah seharusnya menjadi pintu untuk menunjukkan integritas calon pemimpin. Selama ini parpol dianggap hanya menunjukan elektabilitas, yang menunjukkan kadernya berpeluang untuk terpilih.
"Dalam Pilwalkot Malang perlu untuk mengembalikan kepercayaan publik. Bisa jadi dengan kasus ini mereka semakin populer, tapi itu berbeda dengan elektabilitas, karena mempengaruhi tingkat kesukaan publik," kata Wawan. (one)