Masyarakat Malang Akan Sakit Jika Wali Kota Jadi Terpidana
- VIVA/Lucky Aditya
VIVA – Pengamat politik Universitas Brawijaya Malang, Wawan Sobari miris melihat perkembangan kasus dugaan korupsi berjamaah di kota itu. Sebab, dua dari 19 tersangka adalah calon wali kota.
Wawan berpendapat, berdasarkan peraturan KPU, calon kepala daerah yang menjadi tersangka memang tak boleh mengundurkan diri. Calon baru dapat dianggap gugur jika sudah dijatuhi hukuman pidana dan berkekuatan hukum tetap alias in kracht. Itu pun prosesnya cukup panjang.
"Tetapi bicara etika, di atas hukum positif, ya, harus dilakukan (mengundurkan diri)," ujarnya di Malang pada Selasa, 27 Maret 2018.
Integritas, katanya, menjadi lebih penting bagi masyarakat yang akan memilih calon pemimpin mereka. Soalnya dua dari tiga calon wali kota mereka sudah menjadi tersangka dan segera diadili. Jelas menjadi masalah jika satu di antara mereka kelak terpilih sebagai wali kota, lalu pengadilan memvonis dia terbukti korupsi, sehingga harus diberhentikan dari jabatannya.
"Jika sudah terpilih, di tengah-tengah harus berhenti (diberhentikan karena dipenjara), malah akan sakit semua," ujarnya.
Publik Kota Malang, menurut Wawan, sudah terlanjur tahu bahwa dua dari calon wali kota mereka menjadi tersangka kasus suap dan korupsi. Penetapan tersangka sudah cukup menurunkan tingkat kesukaan publik kepada para calon.
"Tim sukses mungkin bisa memainkan sisi emosional pemilih dengan politik branding, namun tidak bisa memengaruhi persepsi publik," katanya menambahkan.
Wawan menyebut, kasus pentepan tersangka korupsi bisa mereduksi tingkat kesukaan pemilih. Karena dalam survei elektabilitas ada dua hal kriteria pertama dekat dengan rakyat dan kedua jujur.
Sembilan belas tersangka
KPK menetapkan wali kota nonaktif Malang, Mochamad Anton, dan 18 anggota DPRD setempat sebagai tersangka kasus suap dalam pembahasan APBD Perubahan tahun anggaran 2015.
Kasus suap itu bermula dari pemberian uang Rp700 juta oleh Jarot Edy Sulistyono, saat itu Kepala Dinas Pekerjaan Umum Perumahan dan Pengawasan Bangunan, kepada Moch. Arief Wicaksono sebagai Ketua DPRD. Arief kemudian memberikan Rp600 juta di antaranya kepada Anton dan 18 anggota DPRD.
Satu di antara anggota DPRD itu ialah Yaqud Ananda Gudban, politikus Partai Hanura. Belakangan, sebelum KPK mengungkap kasus suap itu, Ananda maju sebagai calon wali kota dan berpasangan dengan Ahmad Wanedi.
Mochamad Anton sebagai petahana mencalonkan lagi dan berpasangan dengan Syamsul Mahmud. Anton berpisah dengan wakilnya sekarang, yaitu Sutiaji. Sementara Sutiaji menggandeng Sofyan Edi sebagai pasangan calon sendiri.
KPK juga memeriksa Sutiaji pada 23 Maret tetapi tidak sebagai tersangka melainkan saksi. Pemeriksaannya masih berkaitan dengan aliran dana suap pembahasan APBD Perubahan Kota Malang tahun 2015. (mus)