Hayati Sang Dosen Tetap Bercadar saat Dikukuhkan Jadi Doktor
- VIVA/Andri Mardiansyah
VIVA – Hayati Syafri, dosen pada Institut Agama Islam Negeri atau IAIN Kota Bukittinggi, diwisuda sebagai doktor oleh kampusnya pada Jumat, 16 Maret 2018. Dia lulus dengan meraih predikat predikat cum laude IPK 3.83.
Hayati menjadi sorotan publik dalam sepekan terakhir karena sikapnya yang menolak desakan otoritas kampus untuk menanggalkan cadar yang dia kenakan. Dia tetap mengenakan cadar dalam beraktivitas sehari-hari meski telah dinonaktifkan sebagai dosen oleh kampusnya.
Begitu juga saat dia dikukuhkan sebagai doktor, tak melepaskan cadarnya meski mengenakan toga atau busana khusus untuk wisuda. Dia sebenarnya tetap berharap IAIN Bukittinggi masih bisa menerimanya sebagai dosen meski tetap bercadar. Tapi dia ikhlas andai pun kampusnya tak mencabut penonaktifan statusnya sebagai pengajar.
Hayati sudah menyusun rencana lain jika tetap tidak diizinkan mengajar gara-gara cadar itu, yakni mengelola sebuah sanggar dakwah yang dia sebut bengkel akhlak. Sanggar itu baru saja didirikannya dan ia bertekad menerapkan ilmunya di yayasan itu.
"Ada beberapa proyek menunggu. Bengkel akhlak di mana saya sebagai pembinanya memiliki sejumlah program yang akan segera dijalankan. Pengembangan bengkel akhlak ini merupakan salah satu rencana saya untuk mengisi kekosongan," kata Hayati kepada wartawan usai diwisuda.
Bengkel akhlak itu, katanya, ia dirikan dan kembangkan bersama beberapa mantan mahasiswinya yang sudah menyelesaikan kuliah di IAIN Bukittinggi. Selain mereka mengerti, kedekatan antarsesama juga menjadi salah satu modal utama untuk mengembangkan bengkel akhlak.
Orang termarjinalkan
Salah satu fokus program bengkel akhlak yang ia kembangkan adalah program dakwah marjinal (Damar). Program itu menyasar orang-orang, terutama kaum perempuan, yang marjinal atau terpinggirkan. Contoh, wanita-wanita penghuni lembaga pemasyarakatan, perempuan bercadar yang diintimidasi, orang yang dianggap preman tapi belum tersentuh agama.
Selain itu, tata cara menghapal Alquran dengan nyaman dan menyenangkan bagi anak-anak, juga merupakan salah satu program yang akan ia jalani. Dia juga akan mendirikan pesantren dari masa ke masa dengan sasaran santri remaja hingga lansia berusia lebih 40 tahun.
Walau harus menghadapi persoalan pelik dan sempat membuatnya terpuruk karena memilih bercadar, Hayati bersyukur masih bisa menyelesaikan studi doktoralnya dengan biaya sendiri.
Dia juga bangga akan desertasinya yang berjudul Developing Socio-Cultural Affective Strategy (SCAS) Model in Teaching Speaking. Disertasi itu menawarkan pembelajaran speaking yang mengintegrasikan adab, sikap, dan budaya lokal.Â
Model itu juga mengoptimalkan kemampuan speaking mahasiswa dengan praktik berbicara tidak hanya dengan sesama mereka, namun juga langsung dengan native penutur asli. Juga membahas sikap menghargai perbedaan sehingga terwujud crosscultural understanding (saling memahami antarbudaya).
Hayati berterus terang bahwa suami, anak-anak, dan keluarga besarnya serta teman-temannya yang memberikan kekuatan kepadanya untuk menghadapi seluruh rintangan.Â