Kukuh Bercadar, Dosen Dikeluarkan dari Grup WA Kampus
- REUTERS/Willy Kurniawan
VIVA – Hayati Syafri, dosen yang mengemban mata kuliah Speaking di Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Institut Agama Islam Negeri Kota Bukittinggi, Sumatera Barat, terpaksa harus non aktif dari semua kegiatan akademiknya.
Semua akses yang terkait dengan fungsional akademiknya ditutup pihak kampus lantaran ia tetap bersikukuh mengenakan cadar di lingkungan kampus.
Hayati melawan arus karena menurut keyakinannya bahwa cadar merupakan salah satu sunnah dalam agama Islam, dan tidak sepantasnya kampus Islam membuat aturan yang bertentangan dengan aturan Islam.
Setelah melakukan istikharah, Hayati tetap menggunakan cadar, meskipun diintimidasi bahkan diberi sanksi sekalipun. Baginya, mengenakan cadar merupakan prinsip dan pilihan hidup saat ini.
Kepada VIVA, Kamis 15 Maret 2018, Hayati menceritakan, sebelum memakai cadar ia sudah melakukan kajian mendalam, bahkan juga sudah meminta pendapat dari beberapa ulama. Termasuk juga kepada salah satu pimpinan dikampusnya. Dari semua tokoh yang dimintai pendapat,sedikit yang tidak memperbolehkan mengenakan cadar, karena cadar cenderung dikaitkan dengan paham radikal.
Selain mengikuti sunnah, terdapat beberapa mahasiswi IAIN Bukittinggi yang mengenakan cadar dan diminta melepaskan cadar oleh pihak kampus, yang kemudian mendorong hati Hayati untuk terus menggunakan cadar. Beberapa mahasiswi itu menggunakan cadar, jauh sebelum Hayati mengenakan cadar.
Kala itu, beberapa mahasiswi sempat dipanggil bahkan dengan tegas diminta melepaskan cadar oleh pimpinan kampus. Hingga kemudian, terjadi negosiasi panjang antara mahasiswi dan pihak kampus.
Terlebih lagi, para mahasiswi itu enggan melepaskan cadar karena memiliki keyakinan sendiri. Cadar dilepas dan diganti dengan masker, kesepakatan yang kemudian lahir di antara kedua belah pihak.
Bagi Hayati, larangan menggunakan cadar diarea kampus IAIN Bukittinggi, merupakan bentuk diskriminasi terhadap perempuan yang memiliki pilihan dan keyakinan berbeda. Alasan melanggar kode etik dan aturan tata cara berpakaian serta acap kali dikaitkan cadar dengan paham radikalisme menurutnya sangatlah tidak tepat.
Terlebih lagi dalam aturan dan kode etik IAIN Bukittinggi, sama sekali tidak ada pasal maupun kalimat yang melarang menggunakan cadar. Hanya saja, terdapat kalimat untuk berpakaian rapi dan formal sesuai dengan syariat Islam.
"Nah, apakah kemudian cadar juga melanggar norma dan ketentuan syariat Islam? Rasanya tidak demikian. Saya memakai cadar karena keyakinan saya. Itupun sudah melalui istikharah dan meminta pendapat para tokoh," katanya.
Mahasiswi IAIN Bukittinggi, Sumbar
Hayati, ibu dari delapan anak, tiga diantaranya sudah meninggal dunia itu, sebelumnya juga sudah membaca kembali aturan tata cara berpakaian di kampusnya. Namun lagi-lagi, ia sama sekali tidak menemukan adanya kalimat dalam pasal-pasal yang menyebutkan larangan mengenakan cadar.
Dengan demikian, Hayati berharap, baik pihak kampus maupun masyarakat luas, tidak berpandangan negatif terhadap perempuan yang mengenakan cadar. Dan yang terpenting, jangan selalu dikaitkan dengan paham radikal. Menggunakan cadar, bukan berarti termasuk dalam kelompok yang memiliki paham radikal.
Akses Akademik Ditutup
Selain akses fungsional akademik ditutup, ternyata Hayati juga dikeluarkan dari group WhatsApp keluarga IAIN dimana ruang bagi para dosen dan karyawan IAIN Bukittinggi berdiskusi dan berbagi informasi. Hal ini terjadi setelah banyak pemberitaan tentang kasus cadar ini dalam masyarakat.
Hayati sendiri tercatat menjadi dosen luar biasa di IAIN Bukittinggi pada tahun 2007. Di tahun 2009, Ia kemudian diangkat menjadi dosen tetap dan mengajar mata kuliah Speaking.
Walau kini akses fungsional akademik ditutup dan dinonaktifkan mengajar, namun Hayati tetap memenuhi kewajiban absensinya di kampus. Ia tetap datang saat pagi hari dan sore hari untuk sekedar mengisi absensi.
Hari-hari nya diisi dengan beberapa aktifitas seperti mengikuti kajian dan diskusi, menulis, dan melakukan pengabdian pada masyarakat.
Walau keputusannya mengenakan cadar menuai kontroversi bahkan mendapat pertentangan dari pihak Kampus, namun Hayati berharap persoalan ini cepat diselesaikan dan menemukan titik terang. Karena, pada dasarnya Ia juga sudah rindu untuk kembali mengajar dan bertatap muka dengan para mahasiswa.
"Saya berharap, pihak kampus masih mau menerima saya, karena saya masih ingin mengajar di sana. Ilmu Agama saya masih rendah, saya masih harus selalu belajar dan bersedia mempertimbangkan segala masukan yang ada. Namun saya yakin jika mengenakan cadar itu tidak melanggar ketentuan syariat Islam dan ingin berjuang agar tidak dilarang di kampus yang berlandaskan Islam ini," terang Hayati.