Ahli Sebut HTI Berupaya Melanggar Konsensus Pendirian NKRI

Rois Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH. Ahmad Ishomuddin.
Sumber :
  • Syaefullah

VIVA – Sidang lanjutan gugatan pencabutan badan hukum ormas Islam Hizbut Tahrir Indonesia atau HTI, kembali digelar di Pengadilan Tata Usaha Negara, Jakarta, Kamis 15 Maret 2018.

Menag Yaqut Buka Suara Soal HTI Diduga Gelar Kegiatan di TMII

Dalam sidang kali ini, pemerintah yang diwakili Kementerian Hukum dan HAM menghadirkan ahli hukum administrasi negara, Philipus M. Hadjon dan saksi ahli dari Rois Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH. Ahmad Ishomuddin.

Ahli dari Universitas Airlangga Surabaya itu menyampaikan, pemerintah dapat membubarkan organisasi yang bertentangan dengan Pancasila yang merupakan dasar negara.

HTI Diduga Gelar Kegiatan di TMII, Polisi Akan Periksa Panitia Penyelenggara Acara

“Tidak ada organisasi yang boleh berlawanan dengan Pancasila," katanya.

Menurutnya, bisa saja pemerintah melalui Menkumham mencabut kembali keputusan tentang penerbitan suatu keputusan tentang izin pendirian suatau perkumpulan. Apakah dalam rangka koreksi, atau penerapan sanksi administrasi.

HTI Diduga Bikin Acara Metamorfoshow di TMII, Polisi: Izinnya untuk Isra Mi'raj

"Ada sanksi berupa peringatan tertulis, penghentian, dan pencabutan surat keterangan terdaftar dan atau pencabutan badan hukum," katanya.

Katanya lagi, sanksi administratif bertujuan untuk mengakhiri pelanggaran. Karena itu, bisa dilakukan tanpa melalui putusan pengadilan. Pihak yang merasa dirugikan dengan putusan ini juga dapat mengajukan gugatan.

Sementara itu, Ishomuddin menuturkan, organisasi HTI ini berupaya melanggar konsensus nasional pendirian Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

"NKRI adalah hasil konsensus nasional, kesepakatan seluruh Rakyat Indonesia dalam mendirikan NKRI dan merumuskan, serta memutuskan Pancasila sebagai Staats Fundamental Noorm (Norma Dasar Bernegara). Ini adalah kesepakatan final bangsa Indonesia," ujar Ishomuddin di PTUN Jakarta Timur, Kamis.

Kata dia, bahwa kedaulatan dan keutuhan NKRI, merupakan warisan ulama dan seluruh para pendiri bangsa Indonesia. Maka, menurut hukum Islam kewajiban mendirikan NKRI wajib ain atau bersifat wajib mutlak. NKRI adalah negara yang sah, dengan seluruh wilayah kedaulatannnya.

Tetapi, HTI justru memperjuangkan tegaknya sistem dan bentuk negara khilafah islamiyyah di Negara Kesatuan Republik Indonesia.

"Ini merupakan bentuk penghianatan HTI atas konsensus kebangsaan, serta bukti nyata perlawanan terhadap kesepakatan final seluruh rakyat Indonesia tentang bentuk negara kita NKRI," katanya.

Kata dia, HTI adalah satu-satunya organisasi Islam yang dikendalikan Hizbut Tahrir (organisasi politik Islam Internasional) untuk mendirikan negara trans-nasional Islam.

Kemudian, HTI menolak sistem demokrasi. Penolakan HTI atas sistem demokrasi tidak sejalan dengan kehidupan berbangsa dan bernegara di NKRI yang sangat menghormati dan menjunjung tinggi prinsip-prinsip demokrasi dalam negara hukum

"HTI melarang kecintaan kepada tanah air (nasionalisme)," ujarnya. (asp)

Sekretariat organisasi Hizbut Tahrir Indonesia Jawa Barat di Kota Bandung pada Rabu, 19 Juli 2017.

Guru Besar UMJ Ingatkan Gerakan Pro-Khilafah Masih Eksis di RI dengan Modus Baru

Guru Besar Ilmu Politik di Universitas Muhammadiyah Jakarta mengingatkan kepada seluruh pihak bahwa pergerakan kelompok pro-khilafah masih tetap eksis di Indonesia.

img_title
VIVA.co.id
29 Februari 2024