Enam Tahun Mencetak Anak-anak Pemulung Berprestasi di TPS

Anak-anak pemulung di Aceh belajar di antara tumpukan sampah
Sumber :
  • VIVA/Dani Randi

VIVA – Beraktivitas di lokasi tempat pembuangan sampah atau TPS bukan hal yang diinginkan oleh sebagian orang. Apalagi kegiatan yang dilakukan adalah yang menguras otak untuk berpikir.

TPS Ilegal di Tigaraksa Terbakar, Asap Kepung Kawasan Protokol Pemkab Tangerang

Namun hal itu seperti tidak berlaku bagi puluhan anak-anak di Gampong (Desa) Jawa, Kota Banda Aceh. Desa ini memang menjadi kawasan pembuangan akhir sampah bagi warga kota Banda Aceh. Akibatnya, aroma kurang sedap menjadi hal yang biasa bagi warga di sana.

Di tengah-tengah tempat pembuangan sampah itu, terdapat kegiatan belajar-mengajar. Hanya beralaskan terpal biru, papan tulis putih dan tembok bangunan yang menjadi penghalang sinar matahari. Namun suasana hangat antara pengajar dan murid pun tercipta di antara tumpukan sampah di sekeliling mereka.

Pulau Semakau: Tempat Pembuangan Sampah Ramah Lingkungan di Singapura

Saban sore, puluhan anak usia SD hingga SMP mengikuti les tambahan tanpa dipungut biaya. Mereka mendapat pelajaran dari beberapa relawan untuk belajar baca tulis, Matematika, bahasa Inggris, Kesenian dan pelajaran lainnya.

Maulidar Yusuf, penggerak anak-anak di kawasan itu telah tujuh tahun menghabiskan waktunya untuk mengajar siswa yang rata-rata orangtuanya bekerja sebagai pemulung.

Protes TPS Liar, Warga Tangerang Tutup Akses Jalan

Maulidar menamai tempat belajar itu dengan nama Taman Edukasi Anak Cerdas. Meskipun tanpa kurikulum yang baku, proses belajar tampak menyenangkan dan tetap fokus.

Ia mengajar setiap sore hari mulai Rabu hingga Minggu mulai pukul 16.00 hingga 18.30 WIB. Waktu belajar dijadwalkan sore hari agar mereka tidak ikut orang tua memungut sampah.

“Mengajar sejak 2012. Motivasinya peduli aja sih, intinya mereka harus lebih baik dari kondisi mereka saat ini,” ujar Maulidar saat dikunjungi di lokasi tempat ia mengajar di Gampong Jawa, Banda Aceh, Jumat, 9 Maret 2018.

Maulidar tidak sendiri, ia dan beberapa relawan silih berganti untuk menjadi guru bagi puluhan anak itu. Kini jumlahnya mencapai 80 orang anak. Namun yang aktif hadir bisa mencapai 40 orang.  

Sebagian siswanya masih ada yang aktif di sekolah pendidikan formal. Namun tidak sedikit pula yang tidak lagi melanjutkan pendidikan alias putus sekolah karena faktor ekonomi yang menjadi penghalang. “Ada juga yang belum pernah merasakan pendidikan formal,” ucap wanita berusia 27 Tahun ini yang rela mengajar anak-anak pemulung semenjak ia masih berstatus mahasiswi di kampus UIN Ar-Raniry.

Menariknya, lanjut Maulidar, motivasi anak-anak pemulung ini sangat tinggi. Bahkan mereka biasanya sudah duduk rapi sebelum ia sampai ke lokasi. “Motivasi mereka untuk belajar tinggi. Mereka rela mengorbankan waktu bermain untuk belajar,” kata Maulidar yang kesehariannya bekerja di Dinas Perhubungan Aceh ini.

Salah seorang muridnya, Ibnu mengaku senang dengan aktivitas belajar di daerah tempat tinggalnya itu. Selama satu tahun bergabung Ibnu sudah bisa membaca. “Sudah bisa baca tapi masih mengeja,” kata Ibnu, bocah berumur 8 tahun yang setiap pagi ikut orang tuanya memulung ini.

Perjalanan Maulidar untuk bisa mencerdaskan anak-anak pemulung ternyata tak bisa dipandang sebelah mata. Sebagian anak muridnya bahkan ada yang mendapat ranking di sekolah. “Pengalaman menarik itu, bisa membuat mereka berprestasi di sekolahnya, ada yang dapat ranking 1, 2, dan 3. Ini yang membuat kami bangga,” kata Maulidar Yusuf.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya