Koran Legendaris Bernas Tutup Gara-gara Tekor
- VIVA/Daru Waskita
VIVA – Surat kabar Bernas memutuskan untuk menghentikan penerbitannya per 1 Maret 2018. Koran legendaris dengan basis distribusi di Yogyakarta dan Jawa Tengah itu memilih haluan baru bisnisnya menjadi media daring atau online, dapat diakses melalui laman Bernas.id.
Manajemen Bernas tak memungkiri bahwa perkembangan dunia digital dan teknologi informasi berpengaruh besar pada merosotnya bisnis surat kabarnya. Akibatnya tekor.
Bernas mengklaim memiliki 2.000 pelanggan setia, tetapi pendapatan dari iklan sepi dalam beberapa tahun terakhir. Sementara itu, ongkos produksi dan distribusi tak dapat ditopang hanya dari pelanggan.
"Kami itu punya pelanggan dua ribu, namun ketika iklan sepi, maka tak bisa lagi nutup biaya operasional," kata Tedy Kartiyadi, Manajer Sirkulasi Harian Bernas, kepada VIVA pada Rabu, 28 Februari 2018.
Bernas sempat mengubah strategi bisnisnya, dari semula lebih banyak berkonten lokal menjadi dominan konten nasional. Tujuannya demi mendongkrak oplah.
Tapi, siasat itu gagal. Pelanggan pun mengeluhkan bahwa mereka tak lagi dapat mengetahui informasi-informasi lokal.
Pesatnya perkembangan teknologi informasi yang melahirkan media sosial dan media online, media cetak seperti Bernas pun terdampak, mulai dari jumlah pembaca yang menurun hingga pendapatan iklan merosot drastis.
"Saat ini, masyarakat lebih suka membaca media online dan media sosial ketimbang media cetak. Begitu pula pemasang iklan lebih memilih pasang iklan di media sosial secara gratis ketimbang di media cetak," kata Tedy.
Kematian Udin
Harian Bernas berkantor di Jalan Ring Road Utara 7A Caturtunggal, Depok, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Didirikan oleh menteri penerangan pertama Indonesia, Soemanang, pada 15 November 1946.
Bernas menarik perhatian publik saat seorang wartawannya, Fuad Muhammad Syafrudin alias Udin, tewas lantaran dianiaya orang tak dikenal pada 16 Agustus 1996. Kematian Udin lantas dikait-kaitkan dengan tulisan kritisnya soal Bupati Bantul saat itu, Sri Roso Sudarmo. Kasus pembunuhan itu masih gelap sampai sekarang.