Gus Dur, Alfatihah dan Perjalanan Sekejap Bondowoso-Jombang
- VIVA.co.id/Twitter
VIVA – Bondowoso-Jombang biasa ditempuh dalam waktu 5 sampai 6 jam. Itu bila normal. Tetapi Masnuh Masrur Arifin pernah menempuhnya kurang dari empat jam. Kala menghidupkan mesin mobil, ia hanya manut arahan gurunya yang berada di kursi penumpang, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur: Baca Fatihah dan diam. Jarak seperti terlipat.
Cerita Gus Dur melipat jarak itu terjadi pada tahun 1990-an. Kala itu, Gus Dur menjabat sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. Suatu waktu ia menghadiri undangan acara keagamaan di Bondowoso, Jawa Timur. Acara berlangsung malam dan berakhir dini hari.
"Jam setengah satu malam, Gus Dur dan kami semua makan di sebuah warung sehabis acara di Bondowoso," cerita Kaji Masnuh, sapaan akrab Masnuh Masrur Arifin, di Surabaya, Jawa Timur, pada Jumat malam, 22 Februari 2018. Kaji Masnuh adalah orang dekat Gus Dur yang biasa mengantar kala tokoh yang kelak jadi Presiden Keempat RI itu keliling Jatim.
Kala itu, ikut dalam satu mobil dua kiai. Ada juga Ketua Persatuan Islam Tionghoa Indonesia atau PITI Jatim, Bambang Sujanto. Semua tiga mobil. Gus Dur menumpangi mobil yang dikemudikan Kaji Masnuh, sedan Honda Accord, sedangkan dua mobil lain juga sedan BMW dan Mercy. "Accord saya tapi baru," ujar Kaji Masnuh.
Saat makan, Gus Dur menyampaikan ingin sampai di rumahnya di Denanyar, Jombang, sebelum subuh, setidaknya tepat saat azan subuh berkumandang. Alasannya, ibundanya, Nyai Hj Solechah, hendak bepergian. Gus Dur mengajukan pertanyaan bagaimana caranya sampai Jombang sebelum itu. "Kalau sampai setelah subuh, ibuku sudah di bandara," terang Kaji Masnuh menirukan Gus Dur.
Tentu saja semua bilang tidak mungkin sampai Jombang tepat waktu seperti diinginkan Gus Dur. Mentok, tokoh kala kecil berjuluk Addakhil itupun menyodorkan solusi bernada candaan. "Gus Dur bilang, 'gini saja, semua baca Fatihah, lalu diam," kata Kaji Masnuh.
Segera semua masuk mobil. Mesin dihidupkan. Berangkat. "Saya yang memulai baca Fatihah. Alfaatihah nyaring-nyaring. Setelah itu semua di dalam mobil diam, termasuk Gus Dur. Saya ngegas," ujar Kaji Masnuh.
Di perjalanan, Kaji Masnuh merasakan jalan seperti lapang tanpa kelokan dan tanpa hambatan. "Aku sampek gak ketok Lumajang, Probolinggo, Pasuruan, eruhi pas nyampek Brangkal Mojokerto (Saya sampai enggak sadar kalau sudah melewati Lumajang, Probolinggo, Pasuruan. Tahu-tahu sudah sampai Brangkal, Mojokerto)," ujarnya.
Sampai Mojokerto, lantunan ayat suci menjelang subuh terdengar sayup-sayup. Mobil sampai di rumah Gus Dur tepat saat azan subuh berkumandang. "Sampai rumah, ibu Gus Dur sudah di depan rumah. Gus Dur salim, ibunya bilang, 'Sudah sembahyang sana, setelah itu tidurlah'," ungkap Kaji Masnuh.
Gus Dur masuk rumah, Kaji Masnuh duduk-duduk di teras rumah. Ia melihat jam tangan, pikirannya bertanya-tanya, belum percaya bisa sampai Jombang tepat waktu seperti diinginkan Gus Dur. Ia tambah heran kala dua mobil lain yang berangkat bareng dari Bondowoso tiba di rumah Gus Dur sekira pukul 08.00 pagi.
"Bambang Sujanto bilang ke saya, 'pean iku megendeng, Ji. Ngebut, mobil saya sampai pedot lampune (Sampean nekat, Ji. Ngebut, mobil saya sampai putus kabel lampunya). Padahal saya lihat (kecepatannya) cuma 120 (kilometer per jam) lalu turun. Segitu saja," ungkap Kaji Masnuh.
Suatu waktu saat santai, Kaji Masnuh menanyakan apa yang sebetulnya terjadi saat balapan dari Bondowoso ke Jombang itu. Ilmu nopo sing jenengan gawe, Gus? Gus Dur jawab, ilmu bumi. Opo gak megelno jawabane (Ilmu apa yang sampean pakai, Gus? Gus Dur jawab, ilmu bumi. Apa enggak bikin geregetan jawaban Gus Dur itu)," kata Kaji Masnuh.