Nonpribumi Dilarang Punya Tanah di Yogya akan Digugat Lagi
- Antara
VIVA – Kebijakan Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta yang melarang nonpribumi memiliki tanah di Yogyakarta akan digugat lagi. Kebijakan itu tetap dianggap bertentangan dengan undang-undang.
Seorang warga bernama Handoko telah menggugat kebijakan itu kepada Pengadilan Negeri Kota Yogyakarta. Namun Pengadilan menolak gugatan itu pada 20 Februari 2018, yang berarti kebijakan Wakil Gubernur tetap berlaku.
Handoko tak puas dengan putusan Pengadilan Negeri dan berniat mengajukan gugatan banding kepada Pengadilan Tinggi DI Yogyakarta. "Ya, putusannya kan hari Selasa (20 Februari 2018). Nanti setelah 14 hari dari putusan, saya akan ajukan gugatan ke Pengadilan Tinggi DIY," katanya kepada VIVA pada Jumat, 23 Februari 2018.
Menurutnya, putusan Pengadilan Negeri bertentangan dengan Instruksi Presiden Nomor 26 Tahun 1998 dan Undang Undang Pokok Agraria (UUPA) Tahun 1960. Dia menilai Gubernur dan BPN telah melakukan perbuatan melawan hukum.
"Tapi dalam putusan hakim justru menyatakan Instruksi Wagub DIY Nomor K.898/I/A/1975 tidak bisa diuji di pengadilan dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi karena bukan merupakan peraturan perundangan, melainkan peraturan kebijakan setelah berlakunya Undang Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan," kata Handoko, menjelaskan alasan hakim menolak gugatannya.
Sehingga, katanya, "untuk mengetahui apakah penerapan produk peraturan kebijakan merupakan perbuatan melawan hukum sesuai dalil penggugat, hanya bisa diuji dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Ini aneh."
Selain itu majelis hakim juga berpendapat bahwa berdasarkan sejarah, hak asal-usul, dan Undang Undang Keistimewaan DIY, maka Pemerintah Provinsi DIY diberi keistimewaan penyelenggaraan urusan pemerintahan yang berbeda dibanding daerah lain, yaitu untuk mengatur dan mengurus kewenangan istimewa yang terdiri dari tata cara pengisian jabatan dan tugas gubernur/wagub, kelembagaan Pemda DIY, kebudayaan, pertanahan, dan tata ruang.
"Harusnya Instruksi Wakil Gubernur DIY Nomor K.898/I/A/1975 memberikan perlindungan terhadap ekonomi lemah bukan justru memberikan diskriminasi," ujar Handoko.
Sapi perahan
Handoko mengaku menghormati putusan hakim itu. Namun dengan status tanah yang hanya hak guna bangunan, bukan hak milik, maka setiap 20 tahun sekali harus membayar pajak yang tinggi ke kantor BPN dan itu berlangsung turun-temurun.
"Itu artinya kita, kan, jadi sapi perahan terus dengan membayar pajak yang nilainya cukup tinggi," katanya.
Agus Sumartono, anggota Komisi A DPRD DIY, berpendapat bahwa berdasarkan KUHP, masalah status tanah pribumi dan nonpribumi ada kerancuan dan terus akan menjadi polemik. Namun diskresi Pemerintah Provinsi DIY itu diterima oleh negara melalui BPN yang mengurusi tanah.
"Aturan diskresi tersebut diakui oleh negara dan putusan hakim itu yang akan menjadi pertimbangan untuk mengatur status tanah di Yogya," katanya.
Gus Ton (panggilan akrabnya) menilai urusan tanah di Yogya diperkuat juga dengan Undang Undang Keistimewaan DIY yang berhak mengatur tanah di DIY. Dalam undang-undang itu disebutkan, Pemerintah Provinsi memang berhak mengatur tanah di wilayahnya, berbeda dengan daerah lain maupun dengan aturan lain.
Secara harga ekonomis, meski status tanah hanya hak guna bangunan, sesungguhnya sama dengan status hak milik. "Bahkan hak guna bangunan yang lokasinya strategis sangat mahal dibandingkan dengan tanah berstatus hak milik namun lokasinya terpencil," katanya.