Pasal 122 UU MD3, Bawa RI ke Zaman Kolonial

Suasana Rapat Paripurna Penutupan Masa Sidang di Komplek Parlemen DPR/MPR RI.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja

VIVA – Direktur Intrans, Andi Saiful Haq menilai polemik terkait dengan dimasukkannya pasal 122 huruf k dalam UU MD3 adalah ironi di era demokrasi. Pasal ini berpeluang menjadi pasal karet untuk membungkam kritikan dengan delik sebagai tindak pidana.

DPR Sahkan Revisi UU MD3 Soal Penambahan Pimpinan MPR

"Ada beberapa persoalan mendasar, mengapa pasal ini harus kita tolak. Pertama, pasal ini tidak relevan lagi di zaman modern dan masa demokrasi," kata Andi dalam keterangan persnya, Jumat 16 Februari 2018.

Menurutnya, menghina adalah delik yang paling sering digunakan oleh raja-raja atau diktator zaman dulu untuk menopang kewibawaan dan agar orang tidak banyak bertanya tentang perilaku mereka yang tiran dan korup.

DPR dan Pemerintah Sepakat Revisi UU MD3

"Sementara di era demokrasi, kehormatan sebuah kekuasaan itu diletakkan pada kuasa rakyat. Rakyat yang memutuskan kapan, di mana dan pada siapa kehormatan itu diletakkan," kata Andi

Kedua, ia melanjutkan, pasal yang sama pernah digunakan Pemerintahan Hindia-Belanda untuk membungkam perlawanan para founding fathers, salah satunya Soekarno-Hatta.

Fahri Hamzah: Pimpinan MPR Ditambah Sinyal Rekonsiliasi Jokowi

"Ketiga, anggota DPR RI itu sudah terlalu banyak fasilitas, bahkan mereka memiliki hak imunitas dan kekebalan diplomatik. Kalaupun ada yang harus mereka perjuangkan sekarang, itu adalah kehormatan mereka sendiri di sisa masa jabatan," kata Andi.

Ia menjelaskan, merujuk pada arti kata “kehormatan” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebut bermakna media di mana rasa hormat diletakkan. Sementara itu, kata “menghina” bermakna memandang rendah (hina atau tidak penting).

"Pasal 122 (k) UU MD3 itu tampaknya sekarang berbalik menuding ke wajah anggota DPR RI hari ini. Tuan-tuan, cukup terhormatkah Anda hari ini? Masih ingatkah tuan pada janji menjaga kehormatan sebagai wakil rakyat di parlemen?" kata Andi.

Menurut Andi, jika ada yang pertama kali harus dijerat dengan pasal 122 (k) adalah sekitar 50 persen anggota DPR yang pada masa sidang I tahun 2015 hingga masa sidang IV tahun 2017 tingkat kehadirannya di bawah 50 persen.

"Separuhnya lagi tidak mungkin lepas dari jeratan tindak pidana merendahkan martabat karena hanya mampu mencapai realisasi sekitar 20 persen rancangan UU," kata Andi.

Menurutnya, mangkir dari tugas adalah tindakan tidak terhormat, rapor merah di tengah fasilitas berlimpah adalah penghinaan pada sumpah jabatan. Salah satu tindakan tidak terhormat adalah ketika seorang manusia tidak mengenal rasa malu.

"Bagaimana DPR RI bisa mengelak dari rasa malu, ketika seluruh lembaga survei ternama di tahun 2017 merilis bahwa DPR RI adalah lembaga negara yang paling tidak dipercayai oleh rakyat yang diwakilinya. Jauh di bawah TNI, KPK, Lembaga Kepresidenan dan Polri. Bahkan di bawah pengadilan dan kejaksaan," kata Andi.

Ia menuturkan jika perilaku tidak melaksanakan tugas, tidak menjaga amanah dan tidak dipercaya, tidak lagi dianggap sebagai tindakan merendahkan kehormatan dan martabat anggota DPR dan lembaga DPR RI. Maka MK harus membatalkan Pasal 122 (k) UU MD3 dengan dua argumentasi.

"Pertama, pasal 122 (k) tersebut kehilangan unsur materiilnya, yakni bahwa pelanggaran itu benar-benar dirasakan oleh masyarakat. Kedua, karena delik tersebut sudah diatur dalam pasal 50 dan 51 KUHP, yang menyatakan bahwa sebuah tindakan melawan hukum tidak selamanya adalah tindak pidana," kata Andi.

Ia menjelaskan, tindakan menghina yang dalam KBBI bisa diterjemahkan dengan menganggap rendah atau tidak penting martabat anggota DPR, adalah bisa digolongkan sebagai tindakan formil warga negara yang sudah dijamin dalam konstitusi.

"Dan juga tindakan bersifat materiil karena memang dirasakan mayoritas warga negara," kata Andi.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya