Tokoh MUI Usul Zakat Digabung dengan Pajak
- ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan
VIVA – Wacana pemungutan zakat 2,5 persen dari gaji aparatur sipil negara, atau ASN Muslim bergulir menjadi polemik di tengah masyarakat. Meskipun Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin menegaskan bahwa wacana tersebut nantinya bukan diwajibkan bagi ASN Muslim, tapi negara hanya menfasilitasi pembayaran zakat sebagaimana disyariatkan dalam agama Islam.
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, Cholil Nafis mengatakan, wacana pemungutan zakat dari gaji ASN ini terlanjur menjadi polemik, karena ada yang merasa bahwa tak semua ASN wajib zakat. Di samping penyaluran zakat harus diserahkan kepada salah satu dari delapan golongan yang disyariatkan agama.
Ia memaparkan, kewajiban zakat profesi dianalogikan dengan nishab (batas kekayaan) emas, minimal kepemilikan 85 gram. Dengan asumsi harga emas hari ini, Kamis 8 Februari 2018, per gramnya Rp630 ribu. Sedangkan tata cara mengeluarkan zakatnya, disamakan dengan zakat pertanian, yakni bisa setiap menerima gaji/bulan, atau setiap tahunnya.
Menurutnya, ada tiga pendapat cara menghitung gaji yang wajib zakat. Pertama, dari seluruh pendapatan gaji dan tunjangan; Kedua, gaji dan tunjangan dikurangi biaya operasional seperti transportasi dan konsumsi; Ketiga, gaji dikurangi seluruh kebutuhan pokok diri dan keluarga dan lebihnya dikeluarkan zakatnya.
Apabila nisab (batas dimulainya kewajiban zakat) dihitung setelah kebutuhan pokok, maka tak semuanya ASN wajib zakat. Mengingat, gaji ASN masih banyak yang sulit menyesuaikan dengan kenaikan harga-harga dan bayang-bayang inflasi.
"Saya aja dosen yg sdh IV/a dan lektor Kepala gaji dan tunjangan tak sampai.Rp8 jt," tulis Cholil Nafis melalui akun Twitternya @cholilnafis hari ini.
Ketua Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI) ini menyoroti, jika nantinya zakat menjadi beban ASN Muslim saja, artinya akan ada dua beban sekaligus bagi warga Muslim. Yakni, beban membayar pajak dan zakat setiap bulannya.
"Ini ketidak adilan "haqiqi" antar warga negara karena ada beban yg lebih besar kpd sebagian krn dasar agamanya yg pelayanannya sama dg yg hanya bayar pajak," tulis Cholil.
Atas dasar itu, ia mengusulkan pembayaran zakat sekaligus pajak. Yakni, pajak yang dibayarkan diambil oleh institusi zakat seperti Baznas/Lazis sebesar 2,5 persen sebagai pajak dari ASN Muslim. Sehingga, kewajiban seluruh warga negara sama, tetapi yang Muslim dapat menunaikan kewajiban agama.Â
Nantinya, zakat menjadi pendapatan negara. Yakni, orang dapat memilih antara membayar zakat di lembaga resmi atau membayar pajak kepada lembaga negara. Sehingga, bukti bayar zakat atau sedekah itu bisa digunakan sebagai bukti bayar pajak bukan pengurang pajak.
Selama ini, terang Cholil, UU Pengelolaan Zakat Nomor 23 Tahun 2011 hanya mengatur amil-nya (pengambil zakat) bukan muzakki (yang mengeluarkan zakat), atau penggunaanya kepada mustahiq (penerima zakat). Menurutnya, Baznas/LAZ mengumpulkan dana umat secara sukarela yang hasilnya tak maksimal. Karena, zakat hanya pengurang kewajiban pajak bukan sebagai pajak.
"Perlu memaksimalkan fungsi Baznas/LAZ dg cara mewajibakan seluruh warga yg wajib zakat membayarnya di lembaga itu dengan jaminan bahwa yg dibayarkan sebagai pajak dan sekaligus sesuai dengan ketentuan syariah n konsep pemerataan ekonomi," tulis Cholil.
Dengan begitu, Kementerian Agama tak perlu lagi membuat Perpres terkait pemungutan zakat ASN, karena kalau sifatnya hanya imbauan saja, UU-nya sudah ada dan biasanya tak efektif. Karena, seruan dan imbauan itu cukup dilakukan oleh ulama atau Ormas Islam. Pemerintah diharapkan menerbitkan aturan yang bisa tegas dan dapat memberi sanksi.