Tjahjo Bantah Permendagri Nomor 3 Persulit Penelitian
- VIVA/Nur Faishal
VIVA – Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menerbitkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2018 tentang Penerbitan Surat Keterangan Penelitian (SKP) tertanggal Permendagri 11 Januari 2018.
Tjahjo menolak bila peraturan baru ini dianggap cenderung memperketat penerbitan izin untuk melakukan penelitian di Indonesia. Baik penelitian yang dilakukan oleh kelompok maupun oleh perseorangan.
"Tidak membelenggu kebebasan. Semua orang berhak, lembaga berhak melakukan penelitian di seluruh wilayah Indonesia. Baik menyangkut sosial, politik, budaya, keamanan, dan HAM. Namun, prinsipnya harus bertanggung jawab," kata Tjahjo di kantornya, Selasa 6 Februari 2018.
Tjahjo menambahkan, sebuah penelitian yang dilakukan perorangan maupun lembaga harus jelas dan bisa dipertanggungjawabkan. "Jangan sampai orang melakukan penelitian, geger, padahal fokusnya tidak itu," ucapnya.
Sementara itu, Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri, Soedarmo mengatakan, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3/2018 tentang Penerbitan Surat Keterangan Penelitian (SKP), sebenarnya mempermudah para peneliti.
Para peneliti tidak lagi diharuskan melapor secara berjenjang ketika hendak melakukan penelitian, sebagaimana sebelumnya diatur dalam Permendagri Nomor 64/2011 tentang Penerbitan SKP.
"Sebelumnya kan ketika memperoleh SKP dari pusat, harus lapor dulu ke provinsi, lalu ke kabupaten/kota. Sekarang ketika dapat SKP misal di Papua, maka dapat langsung ke Papua. Permendagri ini lebih mempermudah para peneliti, tidak ada hal yang memberatkan, baik institusi maupun perorangan," ujarnya.
Soedarmo mengakui, dalam permendagri yang baru sebagaimana diatur dalam pasal 2, disebutkan tujuan diterbitkannya SKP dalam rangka kewaspadaan terhadap dampak negatif yang diperkirakan timbul dari proses penelitian.
Dampak negatif yang dimaksud hanya untuk menjamin peneliti benar-benar fokus melakukan penelitian sesuai dengan SKP yang telah diterbitkan.
"Jadi, jangan ada peneliti yang meneliti di Kalimantan, tapi lokasinya malah di Sumatera. Kemudian, penelitian di Asmat soal campak, tapi yang diteliti malah persoalan lain untuk kepentingan tertentu. Sama sekali enggak ada maksud lain dari pasal ini, hanya menjamin jangan sampai tidak sesuai dengan surat keterangan yang diterbitkan," ucapnya.