Anies Kaget MA Batalkan Larangan Sepeda Motor di Thamrin
- VIVAnews/Anhar Rizki Affandi
VIVA – Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA RI) telah mengabulkan perkara permohonan keberatan hak uji materil terhadap Pasal 1 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta nomor 195 tahun 2014 tentang pembatasan lalu lintas sepeda motor juncto Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta nomor 141 tahun 2015 tentang perubahan atas Pergub Provinsi DKI Jakarta nomor 195 tahun 2014 tentang pembatasan lalu lintas sepeda motor.
Pergub tentang larangan sepeda motor melintasi Jalan M.H. Thamrin hingga Medan Merdeka Barat itu dikeluarkan di era kepemimpinan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama. Lantas bagaimana respons Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan terkait putusan itu? Anies merasa kaget mendengar putusan itu. Ia menegaskan akan mentaati putusan Mahkamah Agung tersebut.
"Hah? Kalau MA memutuskan ya pasti ditaati dong," kata Anies usai Menghadiri acara Serah Terima Jabatan Ketua BKSP Jabodetabekjur dari Gubernur Banten kepada Gubernur DKI Jakarta di Pendopo Gubernur Banten, Kawasan Pusat Pemerintahan Provinsi Banten (KP3B), Jalan Syekh Nawawi Al-Bantani, Serang, Banten, Senin 8 Januari 2018.
Anies mengatakan, Pemprov DKI akan segera mempelajari dan melihat putusan itu. "Nanti kita lihat, kan baru keluar ya putusannya," ujarnya.
Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ini mengatakan, setelah ia menerima salinan putusan itu akan segera mungkin untuk dilaksanakan sesuai dengan putusan MA.
"Sesegera mungkin. Kalau dari MA memutuskan, kita laksanakan," ujarnya.
Seperti diketahui, dikutip dari putusan Mahkamah Agung yang ada dalam website resmi Mahkamah Agung, bahwa permohonan itu adalah perkara permohonan keberatan hak uji materil terhadap Pasal 1 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta nomor 195 tahun 2014 tentang pembatasan lalu lintas sepeda motor juncto Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta nomor 141 tahun 2015 tentang perubahan atas Pergub Provinsi DKI Jakarta nomor 195 tahun 2014 tentang pembatasan lalu lintas sepeda motor.
Permohonan diajukan oleh Yuliansah Hamid dan Diki Iskandar dengan melawan Gubernur DKI Jakarta. Putusan nomor 57 P/HUM/2017 itu diputuskan dalam rapat permusyarawatan Mahkamah Agung pada Selasa 21 November 2017 oleh Irfan Fachrudin, hakim agung yang ditetapkan oleh ketua Mahkamah Agung sebagai ketua Majelis.
Lalu hakim Agung Yosran dan Is Sudaryono masing-masing bertindak sebagai anggota Majelis. Putusan itu diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada hari itu juga oleh Ketua Majelis bersama angota majelis.
Dalam Putusan itu, majelis mengabulkan permohonan dari kedua pemohon itu. MA menyatakan Pasal 1 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 195 Tahun 2014 Tentang Pembatasan Lalu Lintas Sepeda Motor juncto Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 141 Tahun 2015 Tentang Perubahan atas Peraturan Gubernur Daerah Khusus lbukota Jakarta Nomor 195 Tahun 2014 Tentang Pembatasan Lalu Lintas Sepeda motor bertentangan dengan peraturan perundang undangan yang Iebih tinggi, yaitu Pasal 133 ayat 1 Undang Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Pasal 11 Undang Undang Nomor 39 Tahun 199 Tentang Hak Asasi Manusia serta, Pasal 5 dan 6 Undang Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang Undangan.
MA juga menyatakan Pasal 1 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Gubernur Daerah Khusus lbukota Jakarta Nomor 195 Tahun 2014 Tentang Pembatasan Lalu Lintas Sepeda Motor juncto Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus lbukota Jakarta Nomor 141 Tahun 2015 Tentang Perubahan atas Peraturan Gubernur Daerah Khusus lbukota Jakarta Nomor 195 Tahun 2014 Tentang Pembatasan Lalu Lintas Sepeda Motor tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Lalu, MA memerintahkan kepada Panitera Mahkamah Agung untuk mengirimkan petikan putusan ini kepada Percetakan Negara untuk dicantumkan dalam Berita Negara. Dan terakhir, MA menghukum termohon untuk membayar biaya perkara sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta Rupiah).