Sejarah Hitam Tragedi Berdarah Gedoran Depok

RS Harapan yang sempat jadi Markas Pemuda
Sumber :

VIVA.co.id – Di era transisi atau peralihan kekuasan dari kolonial Belanda menuju Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Depok sempat mengalami tragedi berdarah yang cukup memilukan, bagi para korban dan keturunannya.

KPK Ungkap yang Kena OTT di Riau Pj Wali Kota Pekanbaru

 Ironisnya, aksi tersebut dilakoni sesama anak bangsa. Peristiwa itu dikenal dengan sebutan Gedoran Depok.

Berdasarkan data yang berhasil dihimpun VIVA.co.id, aksi pembantaian itu terjadi pada 11 Oktober 1945. Saat itu, ribuan orang yang terdiri dari para pemuda, datang dari sejumlah wilayah pinggiran Depok. 

Hashim Isukan Anggito jadi Menteri Penerimaan Negara, Istana Bilang Begini

Mereka menyerbu pemukiman kaum Depok yang kini dikenal dengan sebutan Jalan Pemuda, Kecamatan Pancoran Mas, Depok, Jawa Barat. Tak hanya membunuh, massa juga melakukan penjarahan secara besar-besaran.

Disinyalir, aksi penyerangan yang dilakukan para laskar pemuda itu terjadi akibat adanya kecemburuan sosial. Sebab, saat itu mereka yang bermukim di kawasan tersebut, dikenal dekat dengan pihak kolonial Belanda. Tak hanya itu, kesenjangan ekonomi juga disebut-sebut menjadi salah satu faktor utama pemicu tragedi berdarah ini.

Timnas Indonesia Lolos ke Final Piala AFF 2024 Wanita

Salah satu saksi mata, Jozua Dolf Jonathans (85 tahun) mengungkapkan, aksi penyerangan terjadi sekitar pukul 10:00 WIB. Saat itu, mereka diserbu dari segala penjuru tanpa perlawanan berarti.

"Sebenarnya aksi penyerangan sudah terjadi sejak sehari sebelumnya, cuma baru di wilayah pinggiran, nah klimaksnya itu tanggal 11 Oktober 1945. Saat itu umur saya baru 13 tahun, kami semua kabur ke pinggir Kali Ciliwung menyelamatkan diri di antara semak-semak," kata pria yang akrab disapa Opa Dolf itu pada VIVA.co.id, Jumat 22 September 2017.

Diceritakan Opa Dolf, mereka yang datang menyerbu pemukiman kaum Depok itu jumlahnya ribuan. Sebagian dari mereka mengenakan pakaian serba hitam dengan ikat kepala merah. Keadaan saat itu sangat mencekam. Teriakan bunuh orang Depok selalu diteriakan para laskar.

"Mereka ini juga memukul tiang listrik, itu adalah kode sebab saat itu enggak ada telepon. Tiap tiang jaraknya 20 meter sampai ke Jakarta. Nanti dari Jakarta kasih lagi kode. Nah itu hanya kita dengar, saya sangat takut," katanya dengan mata berkaca-kaca

Kemudian, setelah jam dua sore, Opa Dolf dan beberapa kerabat serta keluarga kembali ke rumah. Namun nahas, seluruh harta benda yang dimiliki telah dijarah. Bahkan, beras untuk persedian makan pun telah habis dijarah.

"Kita datang ke rumah kursi saja sudah enggak ada, jadi sudah kosong. Malam itu kita tudur di lantai sebab kasur kita di balik untuk dibredet, mereka pikir orang Depok menyimpen emas di dalam kasur. Jadi di jalanan kayak musim salju, isinya kapuk, putih," katanya mengenang.

Peristiwa itu, lanjut Opa Dolf terjadi tepat di hari perayaan ulang tahun kakaknya, yakni Yacobus Jonathans, 11 oktober 1945. 

"Kita waktu itu kebiasan orang Depok sini memasak kacang merah sama kaki babi. Satu panci penuh jadi sudah dimasak ditinggalkan saja. Tapi pas kembali itu doang yang masih utuh. Sedangkan yang lain sudah dicincang ada bekas pedang. Yang aneh itu doang yang enggak disentuh. Puji Tuhan kita masih bisa makan.  Kita bagi-bagi tetangga," katanya.

Opa Dolf mengaku dirinya tidak tahu betul berapa jumlah pasti korban yang tewas akibat pembantaian tersebut. Namun, dari sekian banyak korban yang ia ingat adalah keluarga De Bruin, yang juga bagian dari keturunan 12 Marga (kaum Depok) pengikut Cornelis Castelein, saudagar VOC.

"Saya teman dekat anaknya De Bruin, yakni Maudy De Bruin. Dia (Maudy) lebih muda empat tahun dari saya. Dia melihat langsung kepala ayahnya dipenggal dan ibunya dibunuh. Dia sempat memohon agar orang tuanya tidak dibunuh tapi tetap dieksekusi. Ya di rumahnya dibantai, yang selamat hanya Maudy," kata Opa Dolf

Hari berikutnya, para laskar pemuda itu pun kembali. Kali ini, mereka membawa seluruh pria ke gerbong kereta untuk dibawa ke Lapas Paledang Bogor. Sementara para perempuan dan anak-anak digiring ke gedung pemerintahan kaum Depok yang dulu disebut Gemeente Bestuur (kini jadi RS Harapan, Jalan Pemuda).

"Kalau yang cantik-cantik dinikahi. Nah saya waktu itu sudah enggak bisa pikir apa-apa, sudah lemes dibawa ke Plaedang," ujarnya.

Dibebaskan NICA

*** 

Dibebaskan NICA

FOTO: Puri Agung salah satu lokasi pembantaian Gedoran Depok

Setelah lebih dari seminggu berada di Lapas Paledang, bersama sejumlah kaum Depok lainnya, Opa Dolf akhirnya berhasil menghirup udara segar setelah tentara Inggris (sekutu Belanda) menyerbu Paledang, Bogor.

"Kita diselamatkan tentara Inggris, sekutu Belanda. Diungsikan ke wilayah Bogor sampai tahun 1949," ujarnya.

Selama empat tahun itu, kata Opa Dolf, pemukiman kaum Depok diduduki laskar pemuda yang akhirnya kawasan tersebut dikenal dengan nama Jalan Pemuda. 

"Setelah peralihan tahun 1949, akhirnya kami semua kembali ke sana. Aset-aset kami dikembalikan oleh pemerintah. Namun peristiwa itu masih saya ingat betul, mengerikan," katanya.

Sementara itu, sejarawan Depok, Ratu Fara Diba mengungkapkan, peristiwa Gedoran Depok diduga terjadi akibat adanya kecemburuan sosial.  "Yang menyerang pun kebanyakan berasal dari luar Depok," katanya.

Fara mengatakan, sampai saat ini belum diketahui secara pasti berapa jumlah korban yang tewas akibat kejadian tersebut. 

"Sebagian yang trauma memilih tinggal di Belanda, tapi tak sedikit juga yang tetap tinggal. Nah biasanya yang di Belanda akan pulang kampung Desember," ujarnya.

Untuk diketahui, kaum Depok yang tinggal di kawasan Depok Lama sekitar Jalan Pemuda, dan Jalan Kamboja Pancoran Mas, Depok, tadinya merupakan keturunan para budak yang didatangkan dari wilayah Indonesia Timur seperti Bali, Makassar, dan Ambon oleh Cornelis Castelein pada abad 18. Mereka sengaja didatangkan karena dianggap mengerti tentang pertanian.

Dan seperti diberitakan sebelumnya, Cornelis adalah pejabat VOC sekaligus saudagar yang cukup kaya pada zamannya. Berdasarkan catatan YLCC (Yayasan Lembaga Cornelis Castelein), ada sekitar 150 budak yang dipekerjakan dan mendapatkan kehidupan layak oleh Corneleis. Sebelum wafat di tahun 1714, Corneleis bahkan memberikan harta warisannya pada para budak tersebut yang dituangkan dalam testamen atau surat perjanjian.

Selain itu, Corneleis juga dianggap berjasa oleh mereka karena telah mengajarkan ajaran Kristen Protestan, pendidikan, hingga memberikan kemerdekaan jauh sebelum Indonesia merdeka. Dan mereka inilah yang kini dikenal dengan sebutan 12 Marga atau Kaum Depok.   

Hingga kini, sejumlah bangunan bersejarah peninggalan kolonial Belanda itu masih terlihat di sekitar Jalan Pemuda. Di antaranya, SDN 2 Pancoran Mas Depok, RS. Harapan, Puri Agung (yang sampai saat ini kosong pasca pembantaian), rumah Presiden Depok terakhir, Jembatan Panus dan masih banyak lagi. Namun sayangnya, sampai saat ini sejumlah bangunan bersejarah tersebut belum ditetapkan sebagai cagar budaya. 

Rumah Gubernur Jenderal VOC Petrus Albertus Van Der Parra

Nasib Menyedihkan Bangunan Bersejarah di Depok

Pemerintah Kota Depok tak pernah peduli keberadaan bangunan itu.

img_title
VIVA.co.id
3 Januari 2018