- ANTARA/Muhammad Adimaja
VIVA.co.id – Guru besar ilmu hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Syaiful Bakhri, menilai cuti bagi seorang calon petahana adalah sebuah kewajiban. Sebab, cuti tidak hanya bermanfaat untuk pemilu yang jujur dan adil, tapi juga untuk perkembangan demokrasi ke depan.
"Cuti pun merupakan kewajiban sebagai konsekuensi mengikuti pilkada," kata Syaiful saat dihadirkan sebagai saksi dalam persidangan gugatan uji materiil UU Pilkada di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) Jakarta, Rabu, 19 Oktober 2016.
Menurutnya, jika seorang petahana tidak cuti, maka berpotensi menimbulkan penyalahgunaan fasilitas negara. Misalnya, menggunakan kendaraan dinas untuk kampanye, mengerahkan PNS atau bawahan dan menyusun program populer jelang kampanye, hingga penggunaan dana APBD.
Syaiful juga mengingatkan MK, bahwa aturan hukum tidak dibuat untuk satu atau dua orang. Jika keputusan soal cuti dianulir, menurutnya, mungkin akan membawa dampak positif bagi satu dua orang, tapi menimbulkan efek negatif bagi bangsa Indonesia ke depannya. "Permohonan menganulir cuti menurut ahli tidak beralasan," kata dia.
Gugatan uji materiil yang dilayangkan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Dalam sidang, Ahok meminta pengujian pasal 70 ayat (3) dan (4). Karena, menurut Ahok, pada Pasal 70 ayat (3) UU, diatur kewajiban cuti dan larangan menggunakan fasilitas negara saat kampanye.
Sementara ayat (4) menyebut bahwa Mendagri atas nama Presiden berwenang memberi izin cuti untuk gubernur, sedangkan untuk bupati/wali kota diberikan gubernur atas nama menteri. Ahok ingin pasal yang mengatur soal cuti kampanye diubah.
Dia sepakat jika calon petahana harus cuti selama masa kampanye, namun dia juga ingin ada pilihan bagi calon petahana untuk menolak cuti. Ahok beralasan, ketidakinginannya berkampanye karena ingin fokus mengawal pembahasan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DKI 2017. (ase)