Kriteria Gubernur DKI Jakarta versi Muhammadiyah
- VIVA.co.id/Irwandi
VIVA.co.id – Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah menetapkan beberapa kriteria dan pertimbangan dalam menentukan pilihan dan memilih calon Gubernur dan calon wakil Gubenur DKI Jakarta pada Pilkada DKI Jakarta 2017 mendatang.
"Warga Muhammadiyah mempunyai kriteria dalam menentukan (pilihan)," kata Sekum PP Muhammadiyah Abdul Mu'ti di kantor PP Muhammadiyah, Menteng, Jakarta Pusat, Senin 17 Oktober 2016.
Mu'ti menuturkan beberapa kriteria untuk calon pemimpin di DKI Jakarta untuk masa mendatang. Pertama, kata Mu'ti, warga Muhammadiyah menginginkan pasangan calon Gubernur DKI Jakarta yang dekat dengan rakyat. Pemimpin yang melayani masyarakat. Kemudian yang kedua, pemimpin Jakarta ke depannya harus bisa menjadi pemimpin yang bisa menjadi tauladan  bagi masyarakat Jakarta dalam semua hal.
"Pemimpin itu kan cermin bagi masyarakatnya. Sehingga orang melihat bagaimana pemimpinnya berperilaku. Itu akan mencerminkan masyarakat yang dipimpinnya," ucapnya.
Selain itu, kata Mu'ti, yang ketiga, Jakarta merupakan wajah dan cerminan dari Indonesia. Sehingga bagaimana pun, Jakarta sebagai miniatur Indonesia harus memelihara keberagaman dan sekaligus juga keberagamaan.
"Apalagi kalau kita lihat warga Betawi ini secara kultural sangat religius. Tentu kita juga perlu punya pemimpin yang religius. Bagaimana identitas bangsa Indonesia, karakter bangsa Indonesia sekaligus juga sebagai identitas masyarakat Betawi," ungkapnya.
Meski Anies Baswedan merupakan warga Muhammadiyah dan Sandi anggota badan pelaksana harian Universitas Muhammadiyah Jakarta, ia membebaskan warga Muhammadiyah untuk menentukan sikapnya.
"Warga Muhammadiyah ini kan kita berikan kebebasan untuk menentukan pilihan sesuai dengan penilaian dan sesuai dengan hati nuraninya. Iya tiga tadi itu (himbauan secara garis besar kepada warga Muhammadiyah). Kita pakai kriteria saja," ucapnya.
Selain itu, menurut Mu'ti, pertimbangan lain untuk menentukan pemimpin juga harus dilihat dari agamanya dan juga sopan santunnya.
"Tentu dong (sopan santun jadi pertimbangan). Karena kita pemimpin itu cerminan masyarakatnya. Jadi kalau pemimpin sudah tidak bisa menjadi tauladan bagaiamana masyarakatnya meniru. Ini saya kira sangat penting," ujarnya.
"Kalau maslaah agama itu pilihan masing-masing ya. Tapi yang penting kita saling menghormati di antara agama yang berbeda beda," kata Mu'ti.