Kriminolog: Ilmu Baca Wajah Tak Bisa Tetapkan Pelaku Pidana
- VIVA.co.id/Muhamad Solihin
VIVA.co.id – Kriminolog dari Universitas Indonesia (UI), Dr Eva Achjani Zulfa menjelaskan bahwa ilmu fisiognomi tidak dapat digunakan untuk menetapkan pelaku tindak pidana.
Ilmu fisiognomi, merupakan ilmu membaca karakter seseorang melalui wajah. Fisiognomi, kata dia hanya digunakan sampai pada tahapan untuk menggambarkan orang yang diduga berpotensi melakukan tindak pidana.
"Fisiognomi itu memang ilmu filsafat wajah, atau membaca karakter seseorang dari wajah. Hanya menggambarkan potential offended, orang yang punya potensi melakukan kejahatan, yang katakanlah melanggar hukum," katanya dalam persidangan pembunuhan Wayan Mirna Salihin, Senin 19 September 2016.
Ia menegaskan, kalau fisiognomi bukanlah alat ukur, guna menentukan orang yang melakukan kejahatan.
Eva menambahkan, tidak ada larangan seorang ahli kriminologi untuk berbicara tentang gesture dan menggunakan itu, guna meneliti seseorang yang diduga melakukan tindak pidana.
Tetapi, kata dia, ahli kriminologi harus dibantu ahli psikologi yang memahami tentang gesture itu.
“Kita harus tahu motif apa seseorang melakukan perbuatan itu, adakah kesempatan dia melakukan itu, bagaimana. Kriminologi hanya sebatas itu, tidak sampai pembuktian, karena itu bukan ranahnya lagi,” ujar Eva.
Soal potensi dugaan tindak pidana berdasarkan pengamatan rekaman Closed Circuit Television (CCTV), apakah bisa dianalisa menggunakan pendekatan fisiognomi atau tidak, ia menjawab bisa saja dilakukan. Tetapi, hal itu hanya untuk mengetahui potensi siapa yang melakukan kejahatan, bukan menentukan siapa pelaku kejahatannya.
“Tidak lagi, barangkali masih boleh dipakai, tetapi mungkin hanya sekadar mengetahui potensi siapa yang melakukan kejahatan,” kata dia.
Sebelumnya, Eva juga menyebut kalau ilmu kriminologi tak pernah menyatakan seseorang bersalah hanya dari melihat gesture.
Eva menegaskan, ilmu kriminologi hanya berbicara tentang motif, gejala-gejala dan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kejahatan.
"Tetapi (ilmu kriminologi), tidak bisa digunakan mengatakan dialah penjahat. Tidak bisa menjadi dasar menyatakan dialah pelaku," katanya dalam persidangan Jessica Kumala Wongso yang ke-22 itu. (asp)