Pelarangan Minuman Beralkohol Kerap Jadi Komoditi Politik
- AP Photo
VIVA.co.id – Wacana kebijakan pelarangan minuman beralkohol (minol) di suatu daerah disebut mudah dijadikan komoditi politik untuk didengungkan saat seseorang hendak mencalonkan diri menjadi kepala daerah. Hal itu disampaikan Executive Committee Grup Industri Minuman Malt Indonesia (GIMMI), Ipung Nimpuno.
Ipung, yang juga merupakan salah satu pejabat di sebuah perusahaan pemegang lisensi minuman bir bermerek internasional, enggan menyebut di daerah mana hal itu dilakukan. Menurut Ipung, rencana pelarangan minuman beralkohol memang 'menjual'. Kandidat kepala daerah yang menggunakan isu itu menjadi memiliki citra seolah ingin membuat daerahnya tidak menjadi tempat peredaran minol yang selama ini memiliki konotasi negatif di masyarakat.
"Ada kecenderungan, sejak beberapa tahun terakhir itu, isu (pelarangan) minuman beralkohol mudah dipakai untuk komoditi politik. (Misalnya) 'Wah, nanti kalau saya jadi Bupati, saya larang itu'," ujar Ipung saat berkunjung ke kantor VIVA.co.id, Jakarta, Jumat, 9 September 2016.
Padahal, menurut Ipung, dilarangnya secara total peredaran minol justru akan menciptakan masalah yang jauh lebih besar dari sekadar dampak yang bisa timbul dari dikonsumsinya minol tipe A. Minol tipe A adalah minuman dengan kadar alkohol maksimal lima persen. Klasifikasi itu tertera dalam Peraturan Presiden RI Nomor 74 Tahun 2013 Tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol. Jenis minol itu, adalah minol yang peredarannya tergolong lebih mudah ditemukan daripada minol jenis lain (B dan C) yang hanya bisa ditemukan di tempat seperti restoran atau bar tertentu.
"Dengan melarang, justru akan menciptakan masalah baru," ujar Ipung.
Menurut Ipung, ketiadaan minol yang diregulasi (tipe A, B, dan C) di pasar akan membuat masyarakat yang terbiasa mengkonsumsinya beralih ke cairan beralkohol yang tidak diregulasi. Cairan yang dimaksud adalah campuran berbagai bahan yang sering disebut sebagai minuman oplosan. Minuman selundupan yang kandungannya tak terawasi dan penjualannya tidak menjadi pendapatan daerah juga diperkirakan akan lebih marak keberadaannya.
"Minuman oplosan akan tinggi, minuman selundupan juga," ujarnya menambahkan.
Ipung memiliki pandangan langkah Pemerintah Provinsi Gorontalo membuat Peraturan Daerah (Perda) yang menyasar orang yang mabuk akibat mengkonsumsi minol, lebih tepat dipertimbangkan pemerintah daerah lain untuk mencegah efek negatif konsumsi minol. Pada dasarnya, keputusan untuk mengkonsumsi minol dan dampak yang bisa muncul setelahnya merupakan tanggung jawab dari pengkonsumsinya.
Namun, Ipung juga setuju dengan langkah Pemda lain, seperti Pemerintah Provinsi DKI, memperketat peredarannya. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah memasang kamera CCTV di gerai minol di mini market atau super market yang melakukan penjualan. Kasir, juga bisa dilatih untuk hanya menjual kepada pembeli yang kartu identitasnya memang menunjukkan ia sudah cukup umur.
"Intinya peredaran minol itu sebaiknya diatur, bukan dilarang. Pelarangan akan menimbulkan masalah."
(mus)Â