Cerita Derita Ida Bertahan Hidup di Puing Rumah yang Digusur
- Irwandi Arsyad - VIVA.co.id
VIVA.co.id – Berbagai cerita masih tersisa di lokasi penggusuran pemukiman liar di Jalan Rawajati Barat, Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan. Karena, hingga saat ini, masih ada warga yang memilih bertahan hidup di antara puing-puing pemukiman mereka yang kini sudah rata.
Salah satu warga yang memilih bertahan, Ida (45 tahun) mengatakan, dia dan suami, serta tiga anaknya memilih bertahan di tanah kelahirannya itu. Meskipun harus tinggal di sebuah tenda darurat seadanya, dengan beratapkan terpal berwarna biru, dan beralaskan tikar usang.
Ida menceritakan, dia sudah 45 tahun tinggal di tempat itu. Namun, tak pernah diusir sama sekali oleh pemerintah. Atas alasan itu, dia lebih memilih bertahan sejak Kamis pekan lalu.
"Dari lahir di sini sudah 45 tahun. Dulu enggak pernah di usir. Dari hari Kamis di sini, pilih bertahan di sini," kata Ida di lokasi, Rawajati, Pancoran, Jakarta Selatan, Selasa 6 September 2016.
Ida sebenarnya bisa saja mendapatkan tempat yang layak untuk hidup, karena Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, telah menyediakan tempat tinggal di Rumah Susun Sewa (Rusunawa) Marunda di Jakarta Utara. Tetapi, dia menolak pindah ke tempat itu.
Alasannya, kata Ida, lokasi Rusunawa Marunda terlalu jauh dari sekolah ketiga anaknya. "Anak sekolah di sini, bapaknya tidur di sini. Kemarin, baru kita dapat tempat saudara dikasih, anak-anak tidur dit empat saudara itu," ujarnya.
Selain itu, Ida mengatakan, dia tidak akan mau pindah ke Rusunawa Marunda, karena lokasi rusun sangat terpencil dan akses menuju ke sana pun sulit. Bahkan, kata Ida, ada cerita lima warga Rawajati yang sudah pindah ke Rusunawa Marunda, tetapi akhirnya memilih keluar dari rusun itu.
"Enggak pindah ke Marunda. Enggak mau ke sana, jauh ke mana-mana. Airnya enggak bagus, tahu dari orang sini yang datang ke sana, lima orang sempat pindah ke sana, airnya enggak bagus dan ada juga yang bocor. Yang lima orang ke sana, sudah balik lagi. Balik ke sini, akhirnya dia ngontrak dan ada juga yang tinggal di tempat saudara," ujar Ida.
Saat ini, ida bersama sekitar sejumlah warga lainnya, lebih memilih bertahan sampai Pemprov DKI Jakarta memberikan solusi terbaik untuk mereka. Dia mengatakan, warga mau pindah, namun warga meminta kejelasan untuk mendapatkan tempat yang ada di Jakarta Selatan saja.
"(Yang masih bertahan) Sekitar separuhnya ada, sekitar 30 KK ada. (Selebihnya) Kebanyakan yang pindah ke rumah saudara," ujarnya.
Tak hanya itu, Ida mengungkapkan, apa yang masih terbayang dan ada di benak pikirannya. Masih cukup terasa baginya aksi penggusuran yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta. Menurut dia, aksi itu cukup kejam dan petugas Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) terlalu arogan terhadap warga.
Ida juga mengungkapkan, tepat di dalam momentum Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia, namun mereka sebagai Warga Negara Indonesia malah mendapat tindakan penggusuran.
"Iya (penindasan). Satpol PP-nya arogan. Ahok kejam, setajam silet. Ahok cuma gusur-gusur doang, orang kaya dibelain. Orang miskin diugusur-gusur," ujarnya.
Tak hanya itu, Ida juga masih merasakan bagaimana anak perempuannya yang masih duduk di bangku Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) harus menjadi korban tindakan brutal dari petugas saat melakukan aksi tolak penggusuran di lokasi pada Kamis pekan lalu.
"Anak perempuan saya diinjak-injak (waktu penggusuran). Umurnya 16, masih SMA kelas dua. Yang satu cewek sampai pingsan, kelas tiga, sampai dibawa ke Puskesmas," ujarnya.
Seperti diketahui, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui Pemerintah Kota Administrasi Jakarta Selatan telah melakukan penggusuran terhadap puluhan bangunan pemukiman warga di RT 09 RW 04, Kelurahan Rawajati, Pancoran, Jakarta Selatan, Kamis September 2016. (asp)